DIRGAHAYU TABLOID BHINEKA KE 3......Alamat Redaksi Jl.Cempaka 3 No.15 BF/10 Rt.004/014 Perum Bekasi Jaya Indah kelurahan Duren Jaya Kecamatan Bekasi Timur Kota Bekasi..Telphone : 021-99441610,081519681610,082114091610
Personil Mahapatih Gajah Mada Band - Generasi Peduli Sejarah Budaya Nusantara Syuting Video Klip dikawah Sikidang Ginung Dieng Riset * Pembuatan Video Klip Di Prasasti Petilasan Sri Aji Jayabaya Syuting Video Klip Di Prasasti Gajah Mada




Sabtu, 06 September 2014

Kampung Adat Kuta Ciamis

Gerbang Kampung Kuta Adat.
By Admin : Iwan Setia L Niman
KAMPUNG Adat Kuta merupakan sebuah komunitas adat berupa foklor atau Cerita rakyat yang perlu di lestarikan, dikembangkan, dan dimanfaatkan sebagai aset wisata budaya lokal daerah di Kab. Ciamis dan Jawa Barat, Karena Kampung adat kuta pada tahun 2002 mendapatkan Kalpataru oleh Pres¬iden RI Megawati Soekarno putri sebagai kategori penyelamat lingkungan dan adat istiadat di Indonesia Secara administratif masyarakatnya masih melaksanakan tata cara ke¬biasaaan adat istiadat kebiasaan ne¬nek moyang secara turun temurun, mereka hidup dari hasil hutan, berkebun, bersawah dan berladang. Sebagai kelompok sosial, mereka juga memandang lahan, tidak saja sebagai lahan produksi, tetapi juga sebagai suatu yang suci yang disepati secara bersa¬ma-sama dengan adanya hukum adat yang berlaku secara turun temurun, dengan adat istiadat yang masih dijaga oleh masyarakat Kampung adat Kuta. 
Adat-istiadat merupakan kebiasaan atau kesukaan masyarakat setempat ketika melaksanakan upacara adat, berkesenian, hiburan, berpakaian, olah raga dan seb¬againya. 
Rumah Adat Kampung Adat Kuta Ciamis.
Terwujudnya adat istiadat ini diibarat¬kan menanam tumbuhan yang tidak terlalu kuat pohonnya seperti kacang panjang dan lada, kacang panjang atau lada menjadi kuat batangnya hanya jika tanah di seki¬tarnya selalu (digemburkan) sehingga kandungan oksigen dalam tanah lebih banyak dan akarnya mudah menembus ta¬nah. Pohon dapat berdiri tegak dan makin tinggi jika diberi kayu anjungan. Pada saat orang lupa mengambak dan mengajung, maka tumbuhan menjadi kerdil atau mati, demikian pula pelaksanaan adat-istiadat ini di tengah-tengah masyarakat. 
Sehingga apabila dibiarkan berlarut-larut ada kemungkinan akan memudar bah¬kan lenyap atau hilang karena kemajuan jaman. Keberadaan Kampung adat Kuta dan masyarakat pendukungnya diproyeksi¬kan dalam suatu bentuk adat istiadat, hu¬ kum adat, ritual adat dan, rumah adat yang masih dipegang teguh secara turun temu¬run sampai sekarang. Kampung adat Kuta masih mempertahankan nilai-nilai adat is¬tiadat melalui hukum adat yang berlaku di daerahnya. Misalnya untuk masuk ke hutan keramat hanya hari senin dan jumat, tidak boleh meludah, mengambil barang-barang yang ada di hutan keramat, tidak boleh me¬makai perhiasan, tidak boleh mengunakan pakaian serba hitam, larangan menggu¬nakan alas kaki, larangan memakai pakaian dinas. Bahkan kekhasan kampung adat kuta yang berbeda dengan kampung adat lain yaitu di kampung adat Kuta menguburkan orang yang meninggal dunia ke kampung lain, tidak boleh atau larangan membuat sumur, sampai sekarang hukum adat terse¬but masih berlaku. 
Pada umumnya, cerita asal usul kam¬pung kuta terbagi dua bentuk paparan, yai¬tu kampung kuta pada masa kerajaan galuh dan masa kerajaan Cirebon, namun ked¬uanya ternyata memiliki kesamaan. Dalam beberapa dongeng buhun mereka men¬ganggap dan mengakui sebagai keturunan ratu galuh, dan keberadaannya di kampung kuta sebagai penunggu atau penjaga kekay¬aan ratu galuh. Tersebutlah seorang raja bernama Prabu Sukaresi ( Prabu Adimulya Permana Dikusuma th.742-752 Masehi ) mengembara bersama beberapa pengawal terpilih yang berpengalaman. 
Hasil Kerajinan tangan Kampung Kuta Adat.
Pengembaraan dilakukan untuk mencari daerah yang cocok dijadikan pusat pemer¬intahan kerajaan, saat untuk pusat kerajaan. Prabu Ajar Sukaresi segera memerintahkan pengawalnya untuk membangun peristira¬hatan, dia sendiri akan meneliti dan menin¬jau secara sesama daerah sebrang cijolang tersebut. 
Setelah penelitian, Prabu Ajar Sukaresi mengajak pasukannya untuk memulai per¬siapan membuka daerah yang akan dija¬dikan pusat kerajaan. Bekas tempat peristi¬rahatan sementara di tepi sungai cijolang tadi, sekarang di sebut dodokan artinya bekas tempat peristirahatan raja. 
Pada suatu hari, Prabu Ajar Sukaresi berkeliling daerah ternyata daerah terse¬but dikelilingi tebing tinggi, melihat kon¬disi ini, Prabu Ajar Sukaresi, Beranggapan bahwa daerah ini, tidak dapat berkembang dang di perluas karena dibatasi tebing. Dengan terpaksa, persiapan yang telah dilaksanakan untuk mem¬bangun pusat pemerintah¬an di tinggalkan. Karena letaknya berada di sebuah lembah yang di kelilingi tebing, maka daerah ini di sebut Kampung Kuta. 
Untuk selanjutnya, karena dilatar belakangi oleh beberapa alasan, maka Raja Galuh tidak jadi membangunya di kampung kuta, melainkan di Desa Karangkamulyan sekarang kecamatan Cijengjing, untuk memelihara Kam Kam¬pung Kuta, Raja Galuh Mempercayai Raja Cirebon,dan Rja Solo X untuk mengutus orang kepercayaannya, yaitu Raksa Bumi dari Cirebon dan Bata Sela dari Solo. Dian¬tara dua orang yang ditugaskan, yang pal¬ing cepat dating ke Kampung Kuta Yaitu traksabumi. Kemudian traksa bumi mene¬tap di Kampung Kuta dengan Memelihara keutuhan daerah Kampung Kuta dengan sambutan Ki Bumi yang di beri gelar Kun¬cen ( Juru Kunci).Ki Bumi menjaga be¬berapa peralatan/perbekalan yang belum sempat dibawa kota Raja Baru ( Karangka-mulyan).Untuk selanjutnya Ki Bumi terse¬but merupakan leluhur yang menurunkan kuncen Kampung Kuta sampai sekarang. 
Setia LN./B. Al Noor H.

Gatoto Mangkoepraja Putera Dokter Pertama Sumedang

By Admin : Iwan Setia L Niman
GATOT Mangkoepradja lahir pada hari natal tahun 1898 di Sumedang, berasal dari keturunan yang cukup terpandang di kota Sumedang. Ayahnya, Saleh Mangkoepraja, adalah dokter pribumi pertama di Sumedang. Gatot, yang kemudian bersekolah di Bandung, sempat menjadi simpatisan Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging, kemudian berganti menjadi Indonesische Vereeniging tahun 1922) yang berbasis di Belanda namun pemikarannya sampai pula di tanah air dan memperoleh banyak simpatisan. 
Gatot menjadi salah satu aktivis awal Partai Nasional Indonesia, yang dibentuk oleh Ir.Soekarno pada tanggal 4 Juli 1927 di Bandung. Beliau pun menjadi salah satu aktivis partai yang dipercaya menemani para propagandis utama partai seperti Soekarno maupun Ali Sastroamidjojo. Aktivitas PNI sendiri dengan cepat menjadi sangat masif dengan banyak sekali simpatisan baik di Bandung maupun di berbagai daerah diluar Bandung, terdaftar 6000 anggota di awal tahun 1929. Penggemukan kuantitas anggota dan simpatisan ternyata berbanding lurus dengan haluan politik PNI yang makin revolusioner dan non-kooperatif dengan pemerintah kolonial. Pergerakan PNI dan kelompok-kelompok politik lain yang makin banyak memiliki pengikut dengan sifat yang makin radikal memaksa pemerintahan kolonial dibawah Gubernur Jendral de Graeff melakukan tindakan represif pada kegiatan-kegiatan dan para pegiat politik. Korban pertama adalah Mr. Iwa Koesoemasoemantri yang ditangkap dan dipenjara di Medan, lalu tujuh orang pemimpin Sarekat Kaoem Boeroeh ditangkap di Surabaya. Para aktivis PNI pun sadar, cepat atau lambat gelombang aksi ini akan menimpa mereka, namun mereka memilih untuk tetap beraksi sebagaimana biasa. 
Dalam masa itu, Gatot akhirnya memperoleh gelombang hantamannya dalam sejarah pergerakan. Dalam sebuah mobil taksi milik Bpk. Suhada yang dicarter, Gatot dan Soekarno sedang berbincang dalam perjalanan mereka menuju Solo,dan kemudian Jogja, guna menghadiri dan berpidato di rapat umum se¬tempat. Mereka berdua sempat berdiskusi tentang nasib para pemimpin pergerakan dalam kondisi serba ketat seperti waktu itu. Soekarno bercerita pada Gatot tentang para pemimpin yang dibuang ke Boeven Digul dan tempat-tempat mengerikan lain, ataupun dipenjara di penjara lokal, dan bahkan yang dihukum mati. Soekarno bercerita pula tentang salah seorang pemimpin pergerakan di Ciamis yang akan dihukum mati yang pernah menitipkan surat untuknya. Surat tersebut berbunyi : 
“Bung Karno, besok saya akan menjalani hukuman gantung. Saya meninggalkan dunia yang fana ini dengan hati gembira, menuju tiang gantungan dengan keyakinan dan kekuatan batin, oleh karena saya tahu bahwa Bung Karno akan melanjutkan peperangan ini yang merupakan peperangan kami. Teruslah berjuang, Bung Karno, putarkan jalannya sejarah untuk semua kami yang sudah mendahului sebelum perjuangan itu selesai.” Gatot dan Suhada yang mendengarkan hal itu terdiam. Sesuatu telah menancap di dada mereka. 
Ketika Gatot dan Soekarno sedang berkeliling untuk menghadiri beberapa rapat umum di Solo dan Jogja, tanggal 24 Desember 1929, pemerintah mengeluarkan perintah untuk menggeledah rumah para pemimpin beberapa gerakan politik, terutama para pemimpin PNI. Tanggal 29 perintah itu dijalankan, di Jakarta 50 rumah aktivis digeledah, di Bandung 41 rumah, dan di Jogja 35 rumah. Gatot yang bersama Soekarno sedang bermalam di rumah Suyudi, salah seorang aktivis PNI di Jogja, tentunya tak luput dari penyergapan. Gatot lah yang membukakan pintu ketika para petugas menggedor rumah Suyudi. Di saat para petugas masuk, Gatot sadar, bahwa inilah saatnya, perjuangan telah mendapat ujiannya. 
Gatot dan Soekarno segera dimasukkan ke mobil petugas, dan dalam penjagaan konvoi ketat, dibawa menuju penjara Margangasan. Kemudian karena tidak dianggap berbahaya, petugas membebaskan Suhada. Namun Gatot dan Soekarno harus menginap semalam di penjara yang digambarkan Soekarno sebagai ‘penjara untuk orang gila’ tersebut, sebelum besoknya dibawa menuju stasiun, untuk naik kereta menuju Bandung. Tanggal 30 Desember mereka berdua dinaikkan kereta yang menuju Bandung. Kemudian ternya¬ta mereka diturunkan sebelum Bandung, yaitu di Stasiun Cicalengka, dengan tujuan agar di Bandung tidak terjadi kehebohan massal yang bisa menyulitkan penjagaan. Setelah turun dari sedan yang membawa mereka menuju Bandung, Gatot me-nyadari, ia akan menemani pemimpinnya yang tercinta di tempat yang baru : Rumah Penjara Banceuy. 
Gatot dimasukkan dalam sel nomor tu¬juh, sementara Soekarno ada di sel nomor lima. Esok paginya dua orang aktivis PNI, Maskoen dan Supriadinata, menyusul menghuni sel nomor sembilan dan sebe¬las Sel itu lebarnya hanya satu setengah meter, dimana sudah termasuk ruang un¬tuk tidur, dan tempat untuk buang hajat. Namun hal itu tidak menghalangi ‘kreati¬vitas’ para pahlawan ini, dengan sedikit negosiasi dengan penjaga, Inggit Garnasih dan kawan-kawan lain berhasil menyelun-dupkan surat kabar dan buku kedalam penjara. 
Soekarno, yang mendapat suplai itu pertama, kemudian mempunyai akal un¬tuk menyampaikan buku dan surat kabar itu ke kawan-kawannya, maka dengan menggunakan tarikan benang jahit, ia berhasil mengoper buku dan suratkabar ke sel Gatot, Maskoen dan Supriadinata. Soekarno yang kesepian juga meminta Gatot menceritakan kisah-kisah wayang dari buku-buku selundupan, dan rupanya kisah-kisah heroik dari dunia perwayan¬gan mampu menjadi suntikan semangat bagi mereka. 
Tanggal 18 Agustus 1930, setelah delapan bulan di tahanan, Soekarno, Gatot, Maskoen dan Supriadinata diha¬dapkan ke persidangan di Landraad Band¬ung. Mereka dituduh melanggar pasal 169 dari kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan menyalahi pasal 161, 171, dan 153. Mereka secara formal dituduh ‘mengam¬bil bagian dalam suatu organisasi yang mempunyai tujuan menjalankan kejahatan usaha menggulingkan kekuasaan Hin¬dia Belanda’. Dalam sidang itulah, Gatot bersama semua manusia yang hadir saat itu dihadapkan pada sebuah pemebelaan maha dahsyat dari Soekarno, Indonesia Menggugat. Namun Indonesia Menggugat yang tak terbantahkan, tetap dibantah oleh hakim, Gatot mendapat hukuman 2 tahun 8 bulan. Sedangkan Soekarno 4 tahun, dan Maskoen dan Supriadinata masing-masing 1 tahun 3 bulan. Dalam masa penahanan mereka, PNI dibubarkan. 
Pasca kemerdekaan, Gatot kembali bergabung dengan PNI yang sudah diko¬mandoi Soekarno kembali. Setahun ke¬mudian ia menjabat Sekretaris Jenderal PNI menggantikan Sabillal Rasjad yang ditarik ke BP KNIP. Ia meninggalkan PNI pada sekitar Pemilihan Umum tahun 1955 karena kecewa dengan keputusan partai bahwa anggota PNI tidak boleh turut serta dalam organisasi kedaerahan. Tahun 1962 ia menjadi anggota Majelis Permusy¬awaratan Rakyat Sementara (MPRS), sampai pada masa pasca meletusnya peris¬tiwa 30 September 1965, Gatot bergabung dengan Partai Ikatan Pendukung Ke¬merdekaan Indonesia (Partai IPKI) yang didirikan oleh Kolonel AH Nasution, Kol¬onel Gatot Subroto, Kolonel Aziz Saleh, dan beberapa tokoh lainnya tahun1954. Namun kiprah politik Gatot di IPKI tidak¬lah lama, tahun 1966 Gatot diberhentikan dari MPRS oleh Soeharto karena dianggap berafiliasi dengan komunisme dan Soekar¬no. Tiga tahun kemudian, tepatnya tanggal 4 Oktober 1968 Raden Gatot Mangkoepr¬adja meninggal dunia di Bandung, dan di¬makamkan di Taman Pemakaman Umum Sirnaraga Bandung. 
Damar SR./Bonang D

Ajeng Gamelan Sumedang

Goong Renteng.
By Admin : Iwan Setia L Niman
AJÉNG adalah suatu perangkat gamelan yang terdapat di Jawa Barat, yang kelengkapan instrumentasinya (jumlah waditra) hampir sama dengan satu perangkat gamelan pelog.Ada dua jenis ajéng yang amat berbeda gayanya, pertama yang terdapat di daerah Sumedang, dan kedua terdapat di wilayah Karawang dan Bogor (khususnya di Kecamatan Cileungsi). 
Tidak ada dokumen yang menunjukkan kapan gamelan ajéng lahir, tapi dari karakternya yang mengutamakan waditra gong-berangkai (gong chimes) yang merupakan ciri ensambel musik di Asia Tenggara, ensambel ini merupakan jenis gamelan yang amat tua. Jaap Kunst, etnomusikolog Belanda yang mengadakan penelitian gamelan pada tahun 1920-an, melaporkan tentang ajéng yang ada di kampung-kampung di dataran tinggi timur Sunda, seperti di daerah Sumedang. Keduanya kini termasuk jenis musik yang makin kurang mendapat ruang dalam dunia seni pertunjukan di Jawa Barat. Berkurangnya pertunjukan ajéng itu, pertama adalah karena kurangnya apresiasi atau perhatian masyarakat, sehingga tidak beminat menanggap. Kedua, akibat dari pertama, karena makin sedikit, kalau bukan tidak ada lagi yang menanggap, seniman yang memahami lagu-lagu ajéng itu pun makin tiada. 
Perbedaan dari kedua gaya ajéng itu, di Sumedang (wilayah pegunungan) instrumentasinya lebih mendekati ensembel gamelan rénténg, sedangkan yang di Karawang dan Bogor (wilayah pantai) lebih mendekati ensambel gamelan saléndro atau pélog. Selain itu, jika ajéng Sumedang tidak memakai alat melodis (walau kadang-kadang ada yang memakai suling), ajéng Karawang dan Cileungsi memakai tarompet¸ yang biasa digunakan dalam ensambel gendang penca. 
Goong Renteng.
Ajéng Sumedang digunakan hampir khusus untuk penyambutan tamu, seperti halnya gamelan gamelan rénténg atau degung (dahulu). Melodi utamanya dibawakan oleh bonang, tidak memakai vokal (penyanyi, sinden), melulu instrumentalisPenempatan gamelannya di atas panggung yang dibuat tinggi sekali, sekitar 2-3 meter, dan sering dibangun di mulut kampung, walau jauh dari yang punya hajat. Penonton (tamu undangan) yang lewat, tidak bisa melihat senimannya, hanya suaranya. Ajéng Sumedang tidak hanya dikenal di wilayah Kabupaten Sumedang saja, tapi paling tidak sampai ke Kabupaten Majalengka. Sampai awal tahun 1960an awal, ajéng dari Sumedang ada yang diundang pertunjukan di Majalengka, di antaranya adalah pada suatu acara peresmian gedung SKP (Sekolah Kepandaian Putri) di kota Majalengka. 
Ajéng Karawang (dan Cileungsi) juga memiliki persamaan dengan di Sumedang, dalam hal bahwa ensambel ini dasarnya adalah instrumental, dan dimainkan di panggung tinggi untuk bisa terdengar lebih jauh, sebagai kabar tentang adanya selamatan. Persamaan dari sisi konteksnya, baik ajéng Sumedang maupun Karawang sekarang merupakan jenis kesenian langka yang mendekati kepunahan jika tidak ada upaya pelestarian strategis. 
Goong Renteng 
Kenali Goong Renteng, salah satu jenis gamelan khas masyarakat Sunda yang sudah dikenal sejak abad ke-16. Goong Renteng tersebar di sebagian besar Jawa Barat. Menurut Jaap Kunst (1934:386), Goong Renteng dapat ditemukan di Cileunyi dan Cikebo (wilayah Tanjungsari, Sumedang), Lebakwangi (wilayah Pameungpeuk, Bandung), dan Keraton Kanoman Cirebon. Selain itu, Goong Renteng juga terdapat di Cigugur (Kuningan), Talaga (Majalengka), Ciwaru (Sumedang), Tambi (Indramayu), Mayung, Suranenggala, dan Tegalan (Cirebon). 
Istilah ‘goong renteng’ merupakan perpaduan dari kata `goong’ dan ‘renteng’. Kata ‘goong’ merupakan istilah kuno (bahasa Sunda) yang berarti gamelan, sedangkan kata ‘renteng’ berkaitan denganpenempatan pencon-pencon kolenang (bonang) yang diletakkan secara berderet/ berjejer, atau ngarenteng dalam bahasa Sunda. Jadi secara harfiah, Goong Renteng adalah goong (pencon) yang diletakkan/ disusun secara berderet (ngarenteng). 
Anda akan mengenali bahwa Goong Renteng memiliki dua macam laras; ada yang berlaras salendro dan ada yang berlaras pelog. Peralatannya terdiri dari kongkoang, cempres, paneteg, dan goong. Kongkoang (alat musik berpencon), cempres (alat musik bilah), dan goong dikiasifikasikan sebagai idiophone (alat music yang pukul); sementara paneteg (semacam kendang) diklasifikasikan sebagai membranophone (alat music yang ditepuk). Dalam ensambel, kongkoang dan cempres berfungsi sebagai melodi, kendang sebagai irama, dan goong sebagai penutup lagu. 
Arief AP./Bena GJ./Yahya S.

Senin, 30 Juni 2014

Sultan Ageng Tirtayasa Pahlawan Perkasa Dari Banten


Kehadiran orang-orang Belanda di Nusantara, termasuk di Banten pada awalnya hanya untuk berdagang, yakni menawar¬kan beras untuk ditukarkan dengan komo-ditas rempah-rempah yang laku di pasaran Eropa. Namun, dalam perdagangan itu, Be¬landa hendak memonopoli. Di Banten pun terdapat sebuah kantor dagang Belanda. Perkembangan kerajaan Banten tidak lepas dari dukungan kerajaan-kerajaan di pantai utara Laut Jawa, seperti Demak dan Jepara. 
Bahkan sejarah Banten dapat ditelusuri lewat kehadiran Falatehan yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Hubun¬gan antara Banten dan VOC yang semula baik berubah seiring dengan naiknya Sultan Banten Abu’l Fath Abdulfattah yang lebih dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa menjadi raja Banten pada tahun 1651. Sul¬tan yang duduk di tahta saat berusia 20 tahun ini tidak menyukai Belanda karena Belanda dalam pandangannya hanya merupakan penghalang perdagangan Banten. Sultan Ageng berusaha menghalang-halangi perda¬gangan Belanda. 
Selain itu, orang-orang Banten juga di¬perintahkannya untuk melancarkan seran¬gan-serangan gerilya terhadap kedudukan Belanda di Jakarta, baik melalui darat mau¬pun laut. Dua kapal kompeni pada tahun 1656 dirampas oleh Banten dan perkebunan tebu milik kongsi dagang itu dirusak. Raja pun tidak bersedia menemui utusan VOC sehingga orang-orang Belanda yang berada di Banten merasa tidak aman. Mereka secara diam-diam meninggalkan kerajaan itu. Ke¬tika sudah tidak ada lagi orang Belanda di Banten, VOC memblokir pelabuhan Banten sehingga merugikan perdagangan kerajaan Banten. 
Sultan terpaksa mendekati Belanda un¬tuk mengadakan perundingan. Perundingan itu berlangsung sangat ketat karena Belanda tetap mempertahankan keinginan perda-gangan monopoli di Maluku dan Malaka yang sulit diterima oleh Banten. Akhirnya, disepakati bahwa Belanda tetap mengada¬kan perdagangan dengan Maluku dan mem¬bayar ganti rugi kepada Banten. Di sisi lain, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menjalin hubungan dagang dan kerja sama dengan pedagang-pedagang Eropa bukan Belanda. Pedagang-pedagang Inggris dan Denmark misalnya, bebas membeli lada di seluruh wilayah kerajaan Banten. 
Francois Caron, seorang utusan raja Prancis Louis XIV yang singgah di Banten menceritakan bahwa setelah mendarat, mu¬la-mula ia diterima oleh Shabandar Kaytsu, seorang Cina muslim. Selepas tengah hari, mereka diterima oleh Sultan Ageng. Pada 16 Juli 1671, raja didampingi oleh beberapa pembesar kerajaan dan dikawal oleh seki¬tar lima puluh hulubalang mendatangi ke¬diaman orang-orang Perancis di kawasan Pecinan. Di sana Caron menyambut rom¬bongan raja bersama sekitar seratus kelasi. Caron meminta izin untuk mendirikan loji di Banten. Raja kemudian menanyakan tu¬juan kongsi dagang mereka, ke mana tujuan kapal-kapal mereka, barang dagangan yang diinginkan, dan jumlah uang tunai yang mereka miliki. 
Sesudah itu pihak Perancis berusaha menjual barang muatan mereka. Gandum dibeli oleh para vrijburger atau “Prancis borjuis” di Batavia (pedagang yang tidak terikat dengan VOC). Barang-barang dagan¬gan apa saja dapat dijual, kecuali candu yang dilarang keras beredar di Banten. Caron kembali mengunjungi raja dan menghaturkan berbagai hadiah, getah damar, dua meja besar yang dibawa dari Surat, India; dua belas pucuk senapan, dan hadiah lain. 
Orang-orang Inggris yang dikenal sebagai pengamat menam¬bahkan bahwa pihak Prancis juga membawa hadiah beberapa senjata seperti dua jenis mortir dan beberapa granat. Caron dan Gubernur Banten menyetujui perjanjian yang berisi sepuluh kesepakatan mengenai pemberian kemudahan dan hak-hak khusus kepada pihak Prancis, sama den¬gan yang diberikan kepada pihak Inggris. Raja menyewakan lima rumah kecil untuk mereka di kawasan pecinan. Hubungan baik antara Prancis dan Sultan itu bagaimana pun mulai mencemaskan pihak Belanda yang kuatir kalau aliansi antara Prancis dan Sul¬tan itu akan ditujukan ke Batavia. 
Di samping itu, persengketaan Belanda dengan Banten juga tidak dapat dilepaskan dari berdirinya kota Batavia yang dirintis oleh Jan Pieterszoon Coen, yang semula ber-pangkat Kepala Tata Buku kongsi dagang itu di Banten, kemudian di Batavia. Berkat taktik VOC, pada tahun 1676, Banten mulai goyah. Dengan politik adu domba, Sultan Haji, putra Sultan Ageng, berhasil dipengaruhi sehingga memusuhi ayahnya. Ia memang dikenal seb¬agai sosok yang sangat pro-Belanda. Akibat¬nya, terjadi perselisihan antara anak dan ayah. Masyarakat pun terbagi dua. Sebagian tetap setia kepada Sultan Ageng, sedangkan yang lain memihak Sultan Haji. 
Masjid Agung Banten
Ketegangan dengan Belanda memuncak pada tahun 1680 dengan berakhirnya perang Trunojoyo. Sultan Ageng yang makin bert¬ambah usianya harus menghadapi Belanda dan puteranya, Sultan Haji. Pada tanggal 27 Februari 1682 pecah perang antara Sultan Ageng dengan Belanda dan Sultan Haji. Pa¬sukan Sultan Ageng berhasil merebut istana Sultan Haji di Surosowan. Belanda melipat¬gandakan kekuatan. Dengan bantuan Be¬landa, Sultan Haji berhasil mempertahankan diri dengan mengikuti semua syarat yang diajukan Belanda yaitu bahwa semua orang Eropa harus meninggalkan Banten. 
Pada bulan Agustus 1682, Sultan Haji menandatangani perjanjian yang mengakui kekuasaan Belanda. Lama kelamaan Sultan Ageng terdesak dan kekuatannya mulai le¬mah, tetapi ia tidak mau menyerah kepada Belanda. Pengikut-pengikutnya yang ma¬sih setia melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman. Pada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Jakarta. Ia meninggal dunia dalam penjara. Ia dimak¬amkan di kompleks pemakaman raja-raja Banten di sebelah utara Masjid Agung Bant¬en. Atas jasa-jasanya pada negara, Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar pahlawan Na¬sional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970, tgl 1 Agustus 1970.

Bambang S./Asril B. By Admin : Iwan Setia L Niman