DIRGAHAYU TABLOID BHINEKA KE 3......Alamat Redaksi Jl.Cempaka 3 No.15 BF/10 Rt.004/014 Perum Bekasi Jaya Indah kelurahan Duren Jaya Kecamatan Bekasi Timur Kota Bekasi..Telphone : 021-99441610,081519681610,082114091610
Personil Mahapatih Gajah Mada Band - Generasi Peduli Sejarah Budaya Nusantara Syuting Video Klip dikawah Sikidang Ginung Dieng Riset * Pembuatan Video Klip Di Prasasti Petilasan Sri Aji Jayabaya Syuting Video Klip Di Prasasti Gajah Mada




Rabu, 14 November 2012

Kanthong Bolong Nasehat Joko Pring


SEPASANG suami istri membolak-balik “pitutur-pitutur luhur”, nasehat bijak para leluhur. Mereka tertarik membicarakan nasehat Raden Mas Panji Sosro Kartono. Untuk  lebih mendekatkan rasa,  sepasang suami istri tersebut  menyebut beliau sebagai “Eyang”  Sosro Kartono. Sepasang  suami istri tersebut menggunakan  buku-buku Bapak  Anand Krishna sebagai referensi  pembicaraan mereka.  Sang Istri: Renungan pertama “Eyang”  Sosro Kartono tentang ajaran kanthong  bolong. “Nulung pepadhane,  ora nganggo mikir wayah, wadhuk, kanthong.  Yen ana isi lumuntur marang sesami”.  “Menolong bagi sesama, tidak perlu
mempertimbangkan waktu, perut, dan saku  kita. Jika masih ada isinya biarlah mengalir  bagi sesame. Sang Suami: Seorang Bijak adalah milik  dunia, bukan milik suatu kelompok  atau suatu bangsa. Seorang Bijak bahkan  tidak pernah lahir, tidak pernah mati. Lewat  pencerahan serta kesadarannya, lewat  karya dan pandangannya, ia selalu hidup,  tidak pernah mati. “Eyang” Sosro Kartono  dengan ajaran “kanthong bolong” tengah  menggelorakan semangat untuk mempersembahkan  waktu dan sumberdaya yang  dimiliki guna berbhakti terhadap sesama  selama hidupnya.Apa gunanya hidup sampai  usia 70 atau 80 atau 90 tahun, apabila
kehidupan kita tidak berkualitas? Apabila  waktu kita hanya tersia-sia hanya untuk  kejar-mengejar kekayaan, kedudukan dan  ketenaran, ketahuilah bahwa kehidupan  akan melewati kita begitu saja. Demikian,  sesungguhnya kita tidak pernah hidup. Kita  hanya melewati waktu, atau justru waktu  melewati kita.Demikian disampaikan dalam  buku “Bersama Kahlil Gibran Menyelami  ABC Kehidupan”.Hidup dan berkaryalah  dalam masa kini dengan penuh kesadaran.  Kita tidak dapat berkarya dalam masa  lalu yang sudah berlalu, atau pun dalam  masa depan yang belum datang. Kita harus  berkarya dalam masa kini. This moment is  your moment; saat ini adalah saat kita untuk  berkarya, untuk hidup dan menghidupi.  Gunakanlah saat ini dengan sebaik-baiknya.  Demikian disampaikan dalam buku “Life  Workbook, Melangkah dalam Pencerahan,  Kendala dalam Perjalanan, dan Cara Mengatasinya”.  

Sang Istri: “Eyang” Sosro Kartono melayani  dan mengobati orang-orang yang  sakit sampai pukul 12 malam setiap harinya.  Beliau mengajak kita untuk menjadi Pengabdi  Purnawaktu.. dalam buku “Kehidupan,  Panduan Untuk Meniti Jalan Ke Dalam  Diri” dijelaskan. Pengabdi adalah pekerja  purnawaktu. la tidak percaya akan pekerjaan  paruhwaktu. Berseragamkan Pengabdian  pada hari-hari tertentu atau jam-jam tertentu  dan menukarnya dengan pakaian waktu senggang  pada hari lain, pada jam lain. Ia bukan  seorang pelayan part time yang bekerja  pada hari Minggu pagi atau Jumat siang atau  Senin sore. Seluruh kehidupannya, sepenuhnya  berubah menjadi tindakan pelayanan  tak berakhir. Sehingga, la akan siap melayani  Sang Kekasih pada setiap saat. Siapkan  diri kita untuk pekerjaan purnawaktu dan  sambutlah jam kerja panjang dengan senang  hati. Tidak ada hari libur. Untuk dapat menikmati  pekerjaan ini, kita harus mulai dengan  mencintai. Cintailah pekerjaan, tugas  yang dipercayakan pada kita. Hanya dalam  kerja kita dapat bertemu dengan Kekasih  kita. Liburan akan memisahkan kita dari  Sang Kekasih. Tidak, kita tidak lagi membutuhkan  liburan. kita tidak butuh istirahat.  Bagaimana kita dapat hidup tanpa Kekasih  kita di samping kita? Kehidupan menjadi  tak berarti, tak berasa, tak beraroma. Kita  harus melihat wajah Kekasih kita sepanjang  waktu. Inilah Pengabdian.. Sang Suami: “Eyang” Sosro Kartono  menasehati agar selama memiliki waktu,  kekuatan dan harta kita menolong sesama.

 Saat menggunakan harta untuk kepentingan  sesama, beliau mendapatkan “makna”  kehidupan. Bila kita menganggap “kepemilikan  harta” sebagai “makna”, kita perlu  berhati-hati, karena apa yang kita miliki  saat ini tak mungkin kita miliki untuk selamanya.  Dalam buku “Fengshui Awareness Rahasia Ilmu Kuno bagi Manusia Modern”  disampaikan.Bila kita terlalu percaya pada  “kepemilikan”-kita, maka hidup kita bisa  menjadi sangat tidak berarti ketika apa yang  saat ini masih kita miliki, tidaklagi menjadi  milik kita. Berusahalah untuk menemukan  makna lain bagi hidup kita. Barangkali “Kebahagiaan”,  rasa bahagia yang kita peroleh  saat kita berbagi kebahagiaan. Tidak berarti  kita tidak boleh mencari uang.Carilah harta  sehingga kita dapat berbuat baik, dapat berbagi  dengan mereka yang berkekurangan.  Berikan makna kepada hidup kita dengan  berbagi kebahagiaan, keceriaan, kedamaian,  kasih. Sang Istri: Dalam Surat Al Ashri disampaikan  tentang pentingnya waktu, agar kita  mengisi dengan kebajikan agar tidak merugi.  “Eyang” Sosro Kartono juga menasehati  kita untuk dapat mengelola waktu, energi   dan sumberdaya yang kita miliki.Dalam  buku “Menemukan Jati Diri I Ching Bagi  Orang Modern” disampaikan. Jangan menghamburkan  uang yang telah kita kumpulkan  dengan jerih payah. Jangan menyia-nyiakan  waktu dan tenaga bersama mereka yang tidak  menunjang terjadinya peningkatan kesadaran  dalam diri kita. Jika nasihat ini kita  indahkan, kita akan selalu jaya! Hidup ini  singkat sekali. Dari duapuluh empat jam;  setiap hari setidaknya sepertiga atau delapan  jam tersita untuk tidur, makan, mandi, dan  lain sebagainya. Kemudian, delapan sampai  sepuluh jam untuk urusan-perut. Sisa enam  sampai delapan jam harus kita bagi antara  keluarga, sahabat, nonton teve, mengikuti  perkembangan dunia dan banyak hal yang  lain.

 Mendengar seseorang berkata, “Lagi  ngabisin waktu aja, nih.” saya suka bingung.  Sebenarnya, siapa yang sedang menghabisi  siapa? Kita sedang menghabisi waktu atau  justru waktu yang sedang menghabisi kita?  Karena itu, jangan menyia-nyiakan waktu.  Jangan berkumpul dengan mereka yang tidak  menunjang terjadinya peningkatan kesadaran  dalam diri kita. Jangan pula “mengumpulkan”  pengalaman-pengalaman hidup  yang tak berguna. Gunakan waktu seefisien  mungkin. Berkumpullah dengan mereka  yang sama-sama menyadari “nilai” waktu.  Demikian, kita akan selalu jaya, selalu berhasil!  Sang Suami: Kita yang hidup di kota- kota besar sering mengambil sikap tidak  acuh terhadap permasalahan orang lain. Kita  berbicara tentang kasih padahal kebalikan  kasih bukanlah kebencian tetapi ketidakpedulian.  “Eyang” Sosro Kartono selalu peduli  dan mencari kesempatan untuk mengabdi.  Dalam buku “Kehidupan, Panduan Untuk  Meniti Jalan Ke Dalam Diri” disampaikan. Ibadah, Pemujaan, Sembahyang adalah sarana  untuk menciptakan Pengabdian dalam  diri kita. Tidak lebih dari itu. Disiplin-disiplin  seperti itu dibutuhkan untuk melahirkan  Pengabdian dalam diri kita. Begitu lahir Rasa- Pengabdian dalam diri kita, kita akan mulai  melihat kekasih kita di mana-mana. Dia  ada di Selatan dan di Timur, di Utara dan di  Barat, Dia di mana-mana. Dengan kesadaran  seperti itu, apa pun yang kita lakukan  akan menjadi pemujaan. Kita tidak akan lagi  melakukan sesuatu untuk keuntungan pribadi,  apa pun yang kita lakukan, kita lakukan  demi cinta kasih. Sang Istri: Benar suamiku, beliau sesuai  dengan yang disampaikan dalam buku  “Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan” la  berkarya bukan bagi dirinya sendiri, bukan  bagi keluarganya saja, tetapi bagi seluruh  umat manusia. Ia berkarya bagi sesama  makhluk. la berkarya bagi Semesta. la tidak  memikirkan hasil.

 Seluruh kesadaran dipusatkannya  pada apa yang dikerjakannya. Sehingga  hasilnya pun sudah pasti baik. Tidak  bisa tidak. Maka, tidak perlu dipikirkan. la  berkarya dengan semangat persembahan  dan pengabdian pada Hyang Maha Kuasa  Bagi seorang Karma Yogi, Maanava Sevaa  atau Pelayanan terhadap Sesama Manusia,  bahkan Sesama Makhluk, adalah Maadhava  Sevaa atau Pengabdian terhadap Hyang  Maha Kuasa. Dia tidak beramal-saleh  atau ber-dana-punia demi pahala atau kenikmatan  surgawi. Dia melakukan hal itu  karena “senang” melakukannya. Sang Suami: Dalam buku “Vedaanta,  Harapan Bagi Masa Depan”juga disampaikan. Dharma tidak bisa berdiri sendiri  tanpa Jagat Hita – Kebaikan bagi Seluruh  Jagad Raya. Para teroris boleh mengaku  beragama, pembela mereka pun demikian.
Tetapi, mereka bukanlah pelaku Dharma.  Mereka tidak memikirkan kebaikan Jagad  Raya. Jangankan Jagad Raya, bahkan kebaikan  sesama saudara sebangsa dan setanahair  pun tak terpikir oleh mereka. Atas nama  agama, mereka merusak nama negara dan  mencelakai sesama anak bangsa. Dharma  adalah Keagamaan, Religiositas atau Religiousness.  Inti dan tujuan kita beragama  itulah Dharma. Dan, Keagamaan menuntut  supaya kita memikirkan kebaikan seluruh  umat manusia. Bahkan, kebaikan sesama  makhluk hidup – kebaikan bagi semua. Sang Istri: Seseorang yang sudah “sadar”  tidak perlu dipaksa, tidak perlu diiming- imingi juga tidak perlu diintimidasi,  diteror atau dipaksa untuk berbuat baik. Ia  akan selalu berusaha berbuat baik karena  sadar! Para Korawa kontemporer yang  belum “sadar” berjuang demi keluarga dan  kelompoknya dalam medan perang “Kurukshetra”.  Kuru adalah istilah dari keluarga,  golongan Korawa. Sedangkan Pandawa  kontemporer yang “sadar” berjuang dalam  medan perang “Dharmakshetra”, berjuang  demi dharma.Kita tidak memahami perbedaan  antara “kuru” dan “dharma”, antara  “kebaikan atau kepentingan pribadi, keluarga,  dan golongan”, dan “kebaikan atau  kepentingan masyarakat, bangsa dan negara,  kebaikan umat manusia”, maka kita balik  lagi ke Kurukshetra. Demikian disampaikan  dalam buku “The Gita Of Management,  Panduan Bagi Eksekutif Muda Berwawasan  Modern”. (Sar)
....Edisi Ke 2 bulan Desember 2011 - Tabloid Bhineka