MAHAPATIH Majapahit, Gajah Mada yang sangat terkenal dengan sumpah Palapa- nya merupakan satu-satunya orang kuat pada jamannya di Nusantara. Salah satu keruntuhan Kerajaan Majapahit, dikatakan karena tidak memiliki orang kuat yang lain yang cakap untuk menggantikan Gajah Mada. Panglima Perang yang ditunjuk menjadi Mahapatih Kerajaan Majapahit menggantikan Arya Tadah pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwana Wijayatungga dewi (1328-1350).Sebagai Mahapatih, dia berhasil menumpas pemberontakan di Sadeng dan Keta (1331) dan kemudian berikrar untuk mempersatukan Nusantara dengan sumpahnya yang dikenal sebagai Sumpah Palapa. Serat Pararaton memuat Sumpah Palapa yang diucapkan di hadapan Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi. “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring seram, tanjungpura, ring haru, pahang, dompo, ring bali, sunda, palembang, tumasik, samana isun amukti palapa” Artinya “Apabila sudah kalah Nusantara, saya akan beristirahat, apabila Gurun telah dikalahkan, begitupula Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, pada waktu itu saya akan menikmati istirahat” Sepeninggalan Gajah Mada, namanya terus dikenang bukan saja di tanah air akan tetapi sampai di kawasan asia tenggara (yang dulu di sebut Nusantara).
Bahkan nama Gajah Mada dipakai sebagai nama salah satu Universitas Terkemuka di Indonesia. Namun sayangnya, nama besar Gajah Mada itu tidak diimbangi dengan upaya menggali lebih dalam tentang asal-usul Ketika Semangat Gajah Mada Tersisih Mahapatih Gajah Mada. Termasuk nama orang tuanya maupun tempat serta tahun kelahirannya. Tak hanya itu, semangat Gajah Mada yang mempersatukan Nusantara mulai dilupakan. Padahal Gajah Mada pelopor Bhayangkara Utama Nusantara yang sekarang dikenal sebagai smbol Polri, yaitu Tri Brata dengan ikrarnya Catur Prastya. Dan sosok Mahamapih Gajah Mada tetap menjadi lambang kekuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Adanya upaya untuk melupakan sejarah perjalanan dan semangat Gajah Mada oleh generasi muda, sudah lama dirasakan oleh juru kunci Gunung Dieng, Mbah Rusmanto. Dia mengatakan, bahwa rasa kepedulian para generasi muda terhadap Sumpah Palapa yang mempersatukan Nusantara ini mulai tersisih. Mereka seakan asyik dengan dunia politik dan hukum yang serba tidak jelas. Akibatnya, isi perut bumi yang menjadi kekayaan bumi Nusantara terkuras habis. Lalu rakyat yang menjadi pewaris hanya menjadi korban. “Saya juga meminta agar para tokoh yang ada sekarang harus memberi contoh yang baik terhadap generasi muda. Harus dapat jadi panutan.
Mereka harus mau memberi penjelasan tentang makna dari Sumpah Palapa Gajah Mada,” tutur Mbah Rusmanto. Tanpa ada kepedulian dari para tokoh, papar Mbah Rusmanto, tidak mungkin para generasi muda mau peduli terhadap kebesaran nama dan perjuangan Eyang Patih Gajah Mada. “Jadi sudah saatnya sejarah perjalanan Eyang Patih Gajah Mada diperkenalkan kepada generasi muda,”paparnya kemudian. Lontar Babad Gajah Maddha Tersebutlah Brahmana Suami-Istri di wilatikta, yang bernama Curadharmawysa dan Nariratih, keduanya disucikan (Diabhiseka menjadi pendeta) oleh Mpu Ragarunting di Lemah Surat. Setelah disucikan lalu kedua suami istri tersebut diberi nama Mpu Curadharmayogi dan istrinya bernama Patni Nuriratih. Kedua pendet tersebut melakukan Bharata (disiplin) Kependetaan yaitu :Sewala-brahmacari” artinya setelah menjadi pendeta suami istri tersebut tidak boleh berhubungan sex layaknya suami istri lagi. Selanjutnya Mpu Curadharmayogi mengambil tempat tinggal (asrama) di Gili Madri terletak di sebelah selatan Lemah Surat, Sedangkan Patni Nariratih bertempat tinggal di rumah asalnya di wilatikta, tetapi senantiasa pulang ke asrama suaminya di gili madri untuk membawa santapan,dan makanan berhubungan jarak kedua tempat tinggal mereka tidak begitu jauh.
Pada suatu hari Patni Nariratih mengantarkan santapan untuk suaminya ke asrama di gili madri, tetapi sayang pada saat hendak menyantap makanan tersebut air minum yang disediakan tersenggol dan tumpah (semua air yang telah dibawa tumpah),sehingga Mpu Curadharmayogi mencari air minum lebih dahulu yang letaknya agak jauh dari tempat itu arah ke barat. Dalam keadaan Patni Nariratih seorang diri diceritakan timbulah keinginan dari Sang Hyang Brahma untuk bersenggama dengan Patni Nariratih . Sebagai tipu muslihat segerah Sang Hyang Brahma berganti rupa (berubah wujud,(“masiluman”)) berwujud seperti Mpu Curadharmayogi sehingga patni Nariratih mengira itu adalah suaminya. Segera Mpu Curadharmayogi palsu (Mayarupa) merayu Patni Nariratih untuk melakukan senggama, Tetapi keinginan tersebut ditolak oleh Patni Nariratih,oleh karena sebagai pendeta sewala-brahmacari sudah jelas tidak boleh lagi mengadakan hubungan sex,oleh karena itu Mpu Curadharmayogi palsu tersebut memperkosa Patni Nariratih. Setelah kejadian tersebut maka hilanglah Mpu Curadharmayogi palsu,dan datanglah Mpu Curadharmayogi yang asli (Jati) Patni Nariratih menceritakan peristiwa yang baru saja menimpa dirinya kepada suaminya dan akhirnya mereka berdua menyadari,bahwa akan terdjadi suatu peristiwa yang akan menimpa meraka kelak.kemudian ternyata dari kejadian yang menimpa Patni Nariratih akhirnya mengandung. Menyadari hal yang demikian tersebut mereka berdua lalu mengambil keputusan untuk meninggalkan asrama itu,mengembara ke hutan-hutan ,jauh dari asramanya tidak menentu tujuannya,hingga kandungan patni Nariratih bertambah besar. Pada waktu mau melahirkan mereka sudah berada didekat gunung Semeru dan dari sana mereka menuju kearah Barat Daya, lalu sampailah disebuah desa yang bernama desa Maddha.
Pada waktu itu hari sudah menjelang malam dan Patni Nariratih sudah hendak melahirkan,lalu suaminya mengajak ke sebuah “Balai Agung” yang etrletak pada kahyangan didesa Maddha tersebut. Bayi yang telah dilahirkan di bale agung itu, segera ditinggalkan oleh mereka berdua menuju ke sebuah gunung. Bayi tersebut dipungut oleh seorang penguasa didesa Maddha,lalu oleh seorang patih terkemuka di wilatikta di bawa ke wilatikta dan diberi nama “Maddha”. (int)n.....Edisi Ke 1 bulan November 2011 - Tabloid Bhineka
Bahkan nama Gajah Mada dipakai sebagai nama salah satu Universitas Terkemuka di Indonesia. Namun sayangnya, nama besar Gajah Mada itu tidak diimbangi dengan upaya menggali lebih dalam tentang asal-usul Ketika Semangat Gajah Mada Tersisih Mahapatih Gajah Mada. Termasuk nama orang tuanya maupun tempat serta tahun kelahirannya. Tak hanya itu, semangat Gajah Mada yang mempersatukan Nusantara mulai dilupakan. Padahal Gajah Mada pelopor Bhayangkara Utama Nusantara yang sekarang dikenal sebagai smbol Polri, yaitu Tri Brata dengan ikrarnya Catur Prastya. Dan sosok Mahamapih Gajah Mada tetap menjadi lambang kekuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Adanya upaya untuk melupakan sejarah perjalanan dan semangat Gajah Mada oleh generasi muda, sudah lama dirasakan oleh juru kunci Gunung Dieng, Mbah Rusmanto. Dia mengatakan, bahwa rasa kepedulian para generasi muda terhadap Sumpah Palapa yang mempersatukan Nusantara ini mulai tersisih. Mereka seakan asyik dengan dunia politik dan hukum yang serba tidak jelas. Akibatnya, isi perut bumi yang menjadi kekayaan bumi Nusantara terkuras habis. Lalu rakyat yang menjadi pewaris hanya menjadi korban. “Saya juga meminta agar para tokoh yang ada sekarang harus memberi contoh yang baik terhadap generasi muda. Harus dapat jadi panutan.
Mereka harus mau memberi penjelasan tentang makna dari Sumpah Palapa Gajah Mada,” tutur Mbah Rusmanto. Tanpa ada kepedulian dari para tokoh, papar Mbah Rusmanto, tidak mungkin para generasi muda mau peduli terhadap kebesaran nama dan perjuangan Eyang Patih Gajah Mada. “Jadi sudah saatnya sejarah perjalanan Eyang Patih Gajah Mada diperkenalkan kepada generasi muda,”paparnya kemudian. Lontar Babad Gajah Maddha Tersebutlah Brahmana Suami-Istri di wilatikta, yang bernama Curadharmawysa dan Nariratih, keduanya disucikan (Diabhiseka menjadi pendeta) oleh Mpu Ragarunting di Lemah Surat. Setelah disucikan lalu kedua suami istri tersebut diberi nama Mpu Curadharmayogi dan istrinya bernama Patni Nuriratih. Kedua pendet tersebut melakukan Bharata (disiplin) Kependetaan yaitu :Sewala-brahmacari” artinya setelah menjadi pendeta suami istri tersebut tidak boleh berhubungan sex layaknya suami istri lagi. Selanjutnya Mpu Curadharmayogi mengambil tempat tinggal (asrama) di Gili Madri terletak di sebelah selatan Lemah Surat, Sedangkan Patni Nariratih bertempat tinggal di rumah asalnya di wilatikta, tetapi senantiasa pulang ke asrama suaminya di gili madri untuk membawa santapan,dan makanan berhubungan jarak kedua tempat tinggal mereka tidak begitu jauh.
Pada suatu hari Patni Nariratih mengantarkan santapan untuk suaminya ke asrama di gili madri, tetapi sayang pada saat hendak menyantap makanan tersebut air minum yang disediakan tersenggol dan tumpah (semua air yang telah dibawa tumpah),sehingga Mpu Curadharmayogi mencari air minum lebih dahulu yang letaknya agak jauh dari tempat itu arah ke barat. Dalam keadaan Patni Nariratih seorang diri diceritakan timbulah keinginan dari Sang Hyang Brahma untuk bersenggama dengan Patni Nariratih . Sebagai tipu muslihat segerah Sang Hyang Brahma berganti rupa (berubah wujud,(“masiluman”)) berwujud seperti Mpu Curadharmayogi sehingga patni Nariratih mengira itu adalah suaminya. Segera Mpu Curadharmayogi palsu (Mayarupa) merayu Patni Nariratih untuk melakukan senggama, Tetapi keinginan tersebut ditolak oleh Patni Nariratih,oleh karena sebagai pendeta sewala-brahmacari sudah jelas tidak boleh lagi mengadakan hubungan sex,oleh karena itu Mpu Curadharmayogi palsu tersebut memperkosa Patni Nariratih. Setelah kejadian tersebut maka hilanglah Mpu Curadharmayogi palsu,dan datanglah Mpu Curadharmayogi yang asli (Jati) Patni Nariratih menceritakan peristiwa yang baru saja menimpa dirinya kepada suaminya dan akhirnya mereka berdua menyadari,bahwa akan terdjadi suatu peristiwa yang akan menimpa meraka kelak.kemudian ternyata dari kejadian yang menimpa Patni Nariratih akhirnya mengandung. Menyadari hal yang demikian tersebut mereka berdua lalu mengambil keputusan untuk meninggalkan asrama itu,mengembara ke hutan-hutan ,jauh dari asramanya tidak menentu tujuannya,hingga kandungan patni Nariratih bertambah besar. Pada waktu mau melahirkan mereka sudah berada didekat gunung Semeru dan dari sana mereka menuju kearah Barat Daya, lalu sampailah disebuah desa yang bernama desa Maddha.
Pada waktu itu hari sudah menjelang malam dan Patni Nariratih sudah hendak melahirkan,lalu suaminya mengajak ke sebuah “Balai Agung” yang etrletak pada kahyangan didesa Maddha tersebut. Bayi yang telah dilahirkan di bale agung itu, segera ditinggalkan oleh mereka berdua menuju ke sebuah gunung. Bayi tersebut dipungut oleh seorang penguasa didesa Maddha,lalu oleh seorang patih terkemuka di wilatikta di bawa ke wilatikta dan diberi nama “Maddha”. (int)n.....Edisi Ke 1 bulan November 2011 - Tabloid Bhineka