DIRGAHAYU TABLOID BHINEKA KE 3......Alamat Redaksi Jl.Cempaka 3 No.15 BF/10 Rt.004/014 Perum Bekasi Jaya Indah kelurahan Duren Jaya Kecamatan Bekasi Timur Kota Bekasi..Telphone : 021-99441610,081519681610,082114091610
Personil Mahapatih Gajah Mada Band - Generasi Peduli Sejarah Budaya Nusantara Syuting Video Klip dikawah Sikidang Ginung Dieng Riset * Pembuatan Video Klip Di Prasasti Petilasan Sri Aji Jayabaya Syuting Video Klip Di Prasasti Gajah Mada




Rabu, 06 November 2013

Sejarah Kesultanan Ternate Dalam Menghadapi Penjajahan

Ngara Lamo, gerbang Istana Sultan Ternate di tahun 1930-an
Edisi Tabloid Bhineka 24, Oktober 2013 
KERAJAAN Gapi atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Kesultanan Ternate(mengikuti nama ibukotanya) adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nus¬antara antara abad ke-13 hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke -16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekua¬tan militernya. Di masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di pasifik. 
Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13, penduduk Ternate awal merupakan warga eksodus dari Halma¬hera. Awalnya di Ternate terdapat 4 kam¬pung yang masing - masing dikepalai oleh seorang momole (kepala marga), merekalah yang pertama – tama mengadakan hubun¬gan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah – rem¬pah. Penduduk Ternate semakin hetero¬gen dengan bermukimnya pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas perdagangan yang semakin ramai ditambah ancaman yang sering datang dari para perompak maka atas prakarsa momole Guna pemimpin Tobona diadakan musy¬awarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja. 
Tahun 1257 momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai “Gam Lamo” atau kampung besar (belakangan orang me¬nyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan populernya Kota Ter¬nate, sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beber¬apa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan terbesar di bagian timur Indonesia khusus¬nya Maluku.

Organisasi kerajaan 
Di masa – masa awal suku Ternate dip¬impin oleh para momole. Setelah memben¬tuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang disebut Kolano. Mulai pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan gelar Sultan. Para ulama menjadi figur penting dalam kera¬jaan.
Setelah Sultan sebagai pemimpin ter¬tinggi, ada jabatan Jogugu (perdana men¬teri) dan Fala Raha sebagai para penasihat. Fala Raha atau Empat Rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang pung¬gung kesultanan sebagai representasi para momole pada masa lalu, masing – masing dikepalai seorang Kimalaha. Mereka antara lain ; Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi. Pejabat – pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan – klan ini. Bila seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu klan. ¬Se¬lanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se Tufkange (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan,Sangaji dll. Untuk lebih jelasnya lihat Struktur organ¬isasi kesultanan Ternate.

Moloku Kie Raha 
Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 5 kerajaan lain yang memiliki pengaruh. Tidore, Jailolo, Bacan, Obi dan Loloda. Kerajaan – kerajaan ini merupakan saingan Ternate memperebutkan hegemoni di Maluku. Berkat perdagangan rempah Ternate menikmati pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, dan untuk memperkuat hegemoninya di Maluku, Ternate mulai melakukan ekspansi. Hal ini menimbul¬kan antipati dan memperbesar kecem-buruan kerajaan lain di Maluku, mereka memandang Ternate sebagai musuh ber¬sama hingga memicu terjadinya perang. Demi menghentikan konflik yang berlarut – larut, raja Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya atau disebut juga Kolano Sida Arif Mala¬mo (1322-1331) mengundang raja – raja Maluku yang lain untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan. Persekutuan ini kemudian dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond. Bu¬tir penting dari pertemuan ini selain terja¬linnya persekutuan adalah penyeragaman bentuk kelembagaan kerajaan di Maluku. Oleh karena pertemuan ini dihadiri 4 raja Maluku yang terkuat maka disebut juga se¬bagai persekutuan Moloku Kie Raha (Em¬pat Gunung Maluku).


Istana Kesultanan Ternate.
Kedatangan Islam 
Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di Maluku khususnya Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beber¬apa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan meme¬luk Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15. 
Kolano Marhum (1465-1486), pengua¬sa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui memeluk Islam bersama selu¬ruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar Kolano dan meng¬gantinya dengan Sultan, Islam diakui se¬bagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, membentuk lembaga kera¬jaan sesuai hukum Islam dengan melibat¬kan para ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan bergu¬ru pada Sunan Giri di pulau Jawa, disana beliau dikenal sebagai “Sultan Bualawa” (Sultan Cengkih).

Kedatangan Portugal dan perang saudara 
Di masa pemerintahan Sultan Bayanul¬lah (1500-1521), Ternate semakin berkem¬bang, rakyatnya diwajibkan berpakaian se¬cara islami, teknik pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh dari orang Arab dan Turki digunakan untuk memperkuat pasu¬kan Ternate. Di masa ini pula datang orang Eropa pertama di Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema) tahun 1506. Tahun 1512 Portugal untuk pertama kalin¬ya menginjakkan kaki di Ternate dibawah pimpinan Fransisco Serrao, atas persetu¬juan Sultan, Portugal diizinkan mendirikan pos dagang di Ternate. Portugal datang bukan semata – mata untuk berdagang melainkan untuk menguasai perdagangan rempah – rempah Pala dan Cengkih di Ma¬luku. Untuk itu terlebih dulu mereka harus menaklukkan Ternate. Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris – pewaris yang masih sangat belia. Janda sultan, per¬maisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak sebagai wali. Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore dibawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, pangeran Hidayat (kelak Sultan Dayalu) dan pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri. Portugal memanfaat¬kan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese didukung Portugal. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati dan dibunuh Portugal. Gubernur Portugal ber¬tindak sebagai penasihat kerajaan dan den¬gan pengaruh yang dimiliki berhasil mem¬bujuk dewan kerajaan untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa – India. Disana ia dipaksa Portugal untuk menandatangani perjanjian menjadi¬kan Ternate sebagai kerajaan Kristen dan vasal kerajaan Portugal, namun perjanjian itu ditolak mentah-mentah Sultan Khairun (1534-1570).

Mahkota berambut kesultanan ternate.
Pengusiran Portugal 
Perlakuan Portugal terhadap saudara – saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad mengusir Portugal dari Maluku. Tindak – tanduk bangsa barat yang satu ini juga menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang sultan Khairun. Sejak masa sultan Bayan¬ullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah kejatuhan kesultanan Malaka tahun 1511. Ketiganya membentuk Aliansi Tiga untuk membendung sepak ter¬jang Portugal di Nusantara. 
Tak ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran Portugal. Kedudukan Portugal kala itu su¬dah sangat kuat, selain memiliki benteng dan kantong kekuatan di seluruh Maluku mereka juga memiliki sekutu – sekutu suku pribumi yang bisa dikerahkan untuk meng¬hadang Ternate. Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan Portugal di Malaka, Portugal di Maluku ke¬sulitan mendapat bala bantuan hingga ter-paksa memohon damai kepada sultan Khai¬run. Secara licik Gubernur Portugal, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan akhirnya dengan kejam membunuh Sultan yang datang tanpa pengawalnya. Pembunuhan Sultan Khairun semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan Portugal, bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570- 1583), pos-pos Portugal di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia digempur, setelah peperangan selama 5 tahun, akh¬irnya Portugal meninggalkan Maluku un¬tuk selamanya tahun 1575. Kemenangan rakyat Ternate ini merupakan kemenan¬gan pertama putera-putera nusantara atas kekuatan barat. Dibawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak ke¬jayaan, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga kepulauan Marshall dibagian timur, dari Philipina (Selatan) dibagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara dibagian selatan. Sultan Baabullah dijuluki “penguasa 72 pulau” yang semuanya berpenghuni (se¬jarawan Belanda, Valentijn menuturkan secara rinci nama-nama ke-72 pulau terse¬but) hingga menjadikan kesultanan Ternate sebagai kerajaan islam terbesar di Indo¬nesia timur, disamping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah nusantara kala itu. Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja atau tidak dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka adalah pilar pertama yang membendung kolonial¬isme barat.

Peninggalan Kerajaan Ternate.
Kedatangan Belanda 
Sepeninggal Sultan Baabullah Ternate mulai melemah, Spanyol yang telah bersatu dengan Portugal tahun 1580 mencoba men¬guasai kembali Maluku dengan menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru Spanyol memperkuat kedudukannya di Filipina, Ternate pun menjalin aliansi dengan Min¬danao untuk menghalau Spanyol namun gagal bahkan sultan Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila. Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Be¬landa tahun 1603. Ternate akhirnya sukses menahan Spanyol namun dengan imbalan yang amat mahal. Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate, tanggal 26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatan¬gani kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Pada tahun 1607 pula Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di nusantara. 
Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ter¬nate menimbulkan ketidakpuasan para pen¬guasa dan bangsawan Ternate. Diantaranya adalah pangeran Hidayat (15?? - 1624), Raja muda Ambon yang juga merupakan mantan wali raja Ternate ini memimpin oposisi yang menentang kedudukan sultan dan Belanda. Ia mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda dengan menjual rempah – rempah kepada pedagang Jawa dan Makassar.

Perlawanan rakyat Maluku dan kejatuhan Ternate 
Semakin lama cengkeraman dan pen¬garuh Belanda pada sultan – sultan Ter¬nate semakin kuat, Belanda dengan leluasa mengeluarkan peraturan yang merugikan rakyat lewat perintah sultan, sikap Belan¬da yang kurang ajar dan sikap sultan yang cenderung manut menimbulkan kekece¬waan semua kalangan. Sepanjang abad ke- 17, setidaknya ada 4 pemberontakan yang dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat Maluku. 
Tahun 1635, demi memudahkan pen¬gawasan dan mengatrol harga rempah yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar – besaran pohon ceng¬keh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi Tochten, aki¬batnya rakyat mengobarkan perlawanan. Tahun 1641, dipimpin oleh raja muda Am¬bon Salahakan Luhu, puluhan ribu  pasu¬kan gabungan Ternate – Hitu – Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu ke¬mudian berhasil ditangkap dan dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646. 
Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah (1648-1650,1655- 1675) yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menu¬runkan Mandarsyah. Tiga di antara pem¬berontak yang utama adalah trio pangeran Saidi, Majira danKalamata. Pangeran Saidi adalah seorang Kapita Laut atau pan¬glima tertinggi pasukan Ternate, pangeran Majira adalah raja muda Ambon semen¬tara pangeran Kalamata adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin pemberontakan di Maluku tengah semen¬tara pangeran Kalamata bergabung dengan raja Gowa sultan Hasanuddin di Makassar. Mereka bahkan sempat berhasil menu¬runkan sultan Mandarsyah dari tahta dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655) namun berkat bantuan Belanda kedudukan Mandarsyah kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun pemberontakan Saidi cs berhasil dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa se¬cara kejam hingga mati sementara pan¬geran Majira dan Kalamata menerima pengampunan Sultan dan hidup dalam pengasingan.
Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Sibori (1675 – 1691) merasa gerah den¬gan tindak – tanduk Belanda yang semena - mena. Ia kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa Mindanao, namun upayanya untuk meng¬galang kekuatan kurang maksimal karena daerah – daerah strategis yang bisa dian¬dalkan untuk basis perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai per¬janjian yang dibuat para pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa menyingkir ke Jailolo. Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai kerajaan de-penden Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate sebagai negara berdaulat. 
Meski telah kehilangan kekuasaan mereka beberapa Sultan Ternate berikut¬nya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan ke¬mampuan yang terbatas karena selalu dia¬wasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan rakyatnya secara diam – diam. Yang terakhir tahun 1914 Sultan Haji Mu¬hammad Usman Syah (1896-1927) meng¬gerakkan perlawanan rakyat di wilayah – wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal. Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil menim¬bulkan kerugian di pihak Belanda, ban¬yak prajurit Belanda yang tewas termasuk Coentroleur Belanda Agerbeek, markas mereka diobrak – abrik. Akan tetapi karena keunggulan militer serta persenjataan yang lebih lengkap dimiliki Belanda perlawa¬nan tersebut berhasil dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sultan Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pembe¬rontakan ini oleh karenanya berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47, sultan Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatan sultan dan seluruh hartanya disita, beliau dibuang ke Bandung tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927. Pasca penurunan sultan Haji Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat lowong selama 14 tahun dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan. Sem¬pat muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus kesultanan Ter¬nate namun niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi keras yang bisa memicu pemberontakan baru semen¬tara Ternate berada jauh dari pusat pemer¬intahan Belanda di Batavia. 
Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate ma¬sih tetap bertahan meskipun hanya sebatas simbol budaya. Jabatan sultan sebagai pe¬mimpin Ternate ke-49 kini dipegang oleh sultan Drs. H. Mudaffar Sjah, BcHk. (Mu¬daffar II) yang dinobatkan tahun 1986.

Istana Sultan Ternate.
Warisan Ternate 
Imperium nusantara timur yang dip¬impin Ternate memang telah runtuh sejak pertengahan abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan dengan sejarah yang panjang masih terus terasa hingga berabad kemudian. Ternate memiliki andil yang sangat besar dalam kebudayaan nu¬santara bagian timur khususnya Sulawesi (utara dan pesisir timur) dan Maluku. Pen¬garuh itu mencakup agama, adat istiadat dan bahasa. 
Sebagai kerajaan pertama yang meme¬luk Islam Ternate memiliki peran yang besar dalam upaya pengislaman dan pen¬genalan syariat-syariat Islam di wilayah timur nusantara dan bagian selatan Fili¬pina. Bentuk organisasi kesultanan serta penerapan syariat Islam yang diperkenal¬kan pertama kali oleh sultan Zainal Abidin menjadi standar yang diikuti semua kera¬jaan di Maluku hampir tanpa perubahan yang berarti. Keberhasilan rakyat Ternate dibawah sultan Baabullah dalam mengu¬sir Portugal tahun 1575 merupakan ke¬menangan pertama pribumi nusantara atas kekuatan barat, oleh karenanya almarhum Buya Hamka bahkan memuji kemenangan rakyat Ternate ini telah menunda penjaja¬han barat atas bumi nusantara selama 100 tahun sekaligus memperkokoh kedudukan Islam, dan sekiranya rakyat Ternate ga¬gal niscaya wilayah timur Indonesia akan menjadi pusat kristen seperti halnya Fili¬pina.
Kedudukan Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut pula mengangkat derajat Bahasa Ternate sebagai bahasa per¬gaulan di berbagai wilayah yang berada dibawah pengaruhnya. Prof E.K.W. Masin¬ambow dalam tulisannya; “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa - bahasa Austrone¬sia dan Non Austronesia” mengemukakan bahwa bahasa Ternate memiliki dampak terbesar terhadap bahasa Melayu yang di¬gunakan masyarakat timur Indonesia. Se¬banyak 46% kosakata bahasa Melayu di Manado diambil dari bahasa Ternate. Ba¬hasa Melayu Ternate ini kini digunakan luas di Indonesia Timur terutama Sulawesi Utara, pesisir timur Sulawesi Tengah dan Selatan, Maluku dan Papua dengan dialek yang berbeda – beda.] Dua naskah surat sultan Ternate Abu Hayat II kepada Raja Portugal tanggal 27 April dan 8 November 1521 diakui sebagai naskah Melayu tertua di dunia setelah naskah Melayu Tanjung Tanah. Kedua surat Sultan Abu Hayat tersebut saat ini masih tersimpan di mu¬seum Lisabon Portugal.


Binsar HMS/Cak Herry SL.  By Admin : Iwan Setia L Niman