DIRGAHAYU TABLOID BHINEKA KE 3......Alamat Redaksi Jl.Cempaka 3 No.15 BF/10 Rt.004/014 Perum Bekasi Jaya Indah kelurahan Duren Jaya Kecamatan Bekasi Timur Kota Bekasi..Telphone : 021-99441610,081519681610,082114091610
Personil Mahapatih Gajah Mada Band - Generasi Peduli Sejarah Budaya Nusantara Syuting Video Klip dikawah Sikidang Ginung Dieng Riset * Pembuatan Video Klip Di Prasasti Petilasan Sri Aji Jayabaya Syuting Video Klip Di Prasasti Gajah Mada




Senin, 13 Januari 2014

Laksamana Laut Raden Eddy Martadinata

Menteri/Panglima Angkatan Laut 

Laksamana Laut Raden Eddy Martadinata
Laksamana Laut Raden Eddy Martadinata (lahir di Bandung, Jawa Barat, 29 Maret 1921 – meninggal di Riung Gunung, Jawa Barat, 6 Oktober 1966 pada umur 45 tahun) atau yang lebih dikenal dengan nama R.E. Martadinata adalah tokoh ALRI dan pahla¬wan nasional Indonesia. Ia meninggal dunia akibat kecelakaan helikopter di Riung Gu¬nung dan dimakamkan di TMP Kalibata, Ja¬karta Pendidikan HIS di Lahat 1934, MULO di Bandung 1938, AMS di Jakarta 1941 dan Sekolah Pelayaran Tinggi. Ia tidak sempat menyelesaikan Sekolah Teknik Pelayaran karena pendudukan Jepang. Selanjutnya ia masuk Sekolah Pelayaran Tinggi yang diselenggarakan Jepang. Selama mengikuti pendidikan, ia tampak menonjol sehingga diangkat menjadi guru bantu. Tahun 1944, ia diangkat sebagai nahkoda kapal pelatih. Ia menghimpun pemuda bekas siswa Pelayaran Tinggi dan mereka berhasil merebut beber¬apa buah kapal milik Jepang di Pasar Ikan Jakarta. Selanjutnya mereka menguasai be¬berapa kantor di Tanjung Priok dan Jalan Budi Utomo Jakarta. Setelah pemerintah membentuk BKR, pemuda-pemuda pelaut bekas pelajar dan guru Sekolah Pelayaran Tinggi serta pelaut-pelaut Jawa Unko Kai¬sya yang dikoordinasi oleh M. Pardi, Adam, Martadinata, Surjadi Untoro, dan lain-lain, membentuk BKR Laoet Poesat yang dalam perjalanannya berubah menjadi TKR Laoet, diubah lagi menjadi TRI Laoet dan bulan Februari berganti lagi menjadi ALRI. 
Ketika menjabat sebagai Kepala Staf Operasi V (Bagian Perencana), Martadinata mencurahkan perhatian dalam penyelesa¬ian keruwetan ALRI. Salah satunya adalah soal kedudukan dan pembagian tugas antara MBU. ALRI di Yogyakarta dengan Markas Tertinggi (MT). ALRI yang berkedudu¬kan di Lawang, yang dibentuk berdasarkan spontanitas pemuda-pemuda pelaut di Jawa Timur ia menginginkan agar perwira-per¬wira senior di Yogyakarta dan di Lawang dapat menyatukan diri dalam wadah Markas ALRI yang tunggal. Januari 1947 dibentuk Dewan Angkatan Laut (DAL) yang diserahi tugas menyelesaikan masalah tersebut. 
Penugasan berikutnya adalah mendiri¬kan Sekolah Angkatan Laut (SAL) di Ka¬libakung, Tegal dan dilanjutkan dengan penugasan sebagai Kepala Pendidikan dan Latihan di Sarangan, Magetan tahun 1948 yang kemudian dikenal dengan nama Spe¬cial Operation (SO). Martadinata diberi tugas oleh KSAL Subijakto untuk menyelenggara¬kan sekaligus memimpin SO karena menurut KSAL Subijakto, SO merupakan lembaga pendidikan lanjutan untuk para perwira laut. Pendidikan tersebut diselenggarakan khusus untuk mempersiapkan para perwira laut yang akan bertugas memimpin armada kapal-kapal cepat. Kapal tersebut dirancang bisa menem¬bus blokade Belanda, agar pasukan Republik tetap memperoleh senjata dan amunisi untuk meneruskan perjuangan dalam mempertah¬ankan kemerdekaan. Pendidikan SO men¬gambil tempat di Telaga Sarangan, lereng Gu¬nung Lawu, Jawa Timur. Ketika berlangsung Agresi Militer Belanda II, Ia ditunjuk sebagai Wakil Kepala Staf AL Daerah Aceh (ALDA) yang bertugas untuk mengendalikan kegiatan staf yang mencakup dua bidang yakni melak¬sanakan pendidikan dan mengkoordinasi ke¬giatan “Armada Penyelundup” senjata dari luar negri untuk membantu perjuangan. 
Bulan Oktober 1949 ia kembali ke Jawa dan diangkat menjadi Kepala Staf Komando Daerah Maritim Surabaya tahun 1950. Saat itu sudah tercapai gencatan senjata antara RI dan Belanda. Sesuai kesepakatan, Belanda menyerahkan peralatan perangnya kepada Angkatan Perang RI, salah satu diantaranya Kapal Perang HrMS Morotai yang kemudian diubah namanya menjadi RI Hang Tuah dan R.E. Martadinata diangkat menjadi Koman¬dannya. RI Hang Tuah merupakan Kapal Per¬ang terbesar saat itu, digunakan untuk opera¬si-operasi militer menumpas pemberontakan gerombolan Andi Azis di Ujung Pandang dan RMS di Maluku. Martadinata kemudian berkesempatan mengikuti pendidikan United States Navy Post Graduate School di AS pada tahun 1953. Selesai mengikuti pendidikan di AS, ia mendapat tugas khusus selama tiga tahun sepanjang tahun 1957-1959 di Italia untuk mengawasi pembuatan 2 kapal korvet kelas Almirante Clemente yang dipesan RI yaitu RI Soerapati dan RI Imam Bondjol. Pada kurun waktu tersebut Martadinata juga sekaligus bertugas mengawasi pembuatan kapal pesanan ALRI di Yugoslavia. Sekem¬balinya dari Italia, ia diangkat menjadi Hakim Perwira pada pengadilan Tentara di Medan Jakarta dan Surabaya. 
Pada tahun 1959, terjadi pergolakan di dalam tubuh ALRI yaitu adanya ketida¬kpuasan terhadap kepemimpinan KSAL yang pada saat itu dipimpin oleh Laksamana Madya Subijakto, beberapa perwira yang dimotori oleh Mayor Laut Yos Soedarso dan Mayor (KKO) Ali Sadikin (kemudian disebut sebagai Gerakan 1959) menghadap Presiden Sukarno untuk menyampaikan per-mohonan penggantian KSAL dengan damai dan tanpa kekerasan. Pada awalnya Pres¬iden Sukarno tidak menyetujui permohonan tersebut, namun setelah melihat bahwa ger¬akan tersebut mendapat dukungan hampir sebagian besar staf ALRI maka Presiden Soekarno memanggil Laksamana Madya Subijakto untuk mendiskusikan Gerakan 1959. Dalam pembicaraan tersebut Presiden menyampaikan rencana penggantian KSAL dan ketika Presiden menanyakan siapakah calon yang cocok untuk menjadi KSAL maka Laksamana Madya Subijakto men-gusulkan Kolonel Laut R.E. Martadinata - yang pada saat itu masih memimpin satuan ALRI mengawasi pembuatan kapal pesanan ALRI di Italia - sebagai penggantinya kare¬na dianggap netral. Setelah menjabat, maka dengan sekuat tenaga ia berhasil mendamai¬kan kembali golongan-golongan yang saling berlawanan sehingga ALRI tetap utuh dan bersatu. Ketika menjabat KSAL yang ke¬mudian dirubah menjadi Menteri/Panglima Angkatan Laut, Angkatan Laut Republik In¬donesia memiliki kekuatan yang disegani di kawasan Asia Pasifik seiring dengan menin¬gkatnya konfrontasi dengan Belanda berkai¬tan dengan perebutan Irian Barat. 
Dengan dicanangkannya Trikora, maka ALRI membeli peralatan tempur dari Rusia dengan jumlah yang cukup banyak antara lain: 1 kapal penjelajah (kelas Sverdlov), 8 perusak (kelas Skoryy), 8 frigat (kelas Riga), 12 kapal selam (kelas Whiskey) dan kapal-kapal pendukung lainnya yang ber¬jumlah hampir lebih dari 100 buah kapal. Selain itu dibeli pula pesawat pembom tor¬pedo Ilyushin Il-28 seri Il-28T dan Il-28U, serta helikopter Mil Mi-4. Pada tahun 1965, terjadi kembali pergolakan di dalam tu¬buh ALRI yang kemudian dikenal dengan nama Gerakan Perwira Progresif Revolu¬sioner (GPPR). Gerakan ini mengikuti pola Gerakan 1959 yaitu menghadap Presiden Sukarno untuk menyampaikan laporan ter¬jadinya kemerosotan kinerja Angkatan Laut karena dikelola oleh para perwira yang ti¬dak profesional serta ketidakpuasan dengan kepemimpinan R.E. Martadinata sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut. Karena gerakan ini dianggap sebagai pelanggaran militer dan sesuai saran dari Letnan Jen¬deral Ahmad Yani yang ketika itu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat, maka hampir kurang lebih 150 perwira yang terlibat dalam gerakan tersebut dimana ter¬masuk diantaranya J.E. Habibie (mantan Dubes RI di Belanda) dan Pongky Soepard¬jo (mantan Dubes RI di Finlandia) dikelu¬arkan dari dinas Angkatan Laut. Ketika ter¬jadi pemberontakan G30S/PKI tahun 1965, dalam kapasitas sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut, R.E. Martadinata segera memberikan reaksi mengutuk gerakan terse¬but dan menyatakan ALRI bekerjasama den¬gan AD untuk menumpas G30S/PKI. Tin¬dakannya tersebut ternyata tidak disenangi oleh Presiden Sukarno sehingga jabatannya sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut dicopot dan digantikan oleh Laksamana Muda Muljadi. 
Martadinata kemudian diangkat menjadi duta besar berkuasa penuh RI untuk Pakistan. Dalam rangka menyambut hari ulang tahun ABRI ke-21, R.E. Martadinata kembali ke Indonesia mendampingi 3 tamu dari Paki¬stan yaitu Kolonel Laut Maswar bersama istri serta Nyonya Rouf, istri dari Deputi I Kepala Staff Angkatan Laut Pakistan. Pada tanggal 6 Oktober 1966, mereka mengadakan per¬jalanan menaiki helikopter Alloutte II milik ALRI dengan dikemudikan pilot Letnan Laut Charles Willy Kairupan, yang ternyata dalam perjalanan menabrak bukit di Riung Gunung. Kecelakaan tersebut menewaskan seluruh penumpang dan pilot, termasuk Laksamana Laut R.E. Martadinata. Pemerintah RI men¬ganugerahi gelar Pahlawan Nasional karena pengabdiannya untuk negeri ini. 
Monang P./Angger SW./Bambang S. By Admin : Iwan Setia L Niman