SEPASANG suami istri membolak-balik “pitutur-pitutur luhur”, nasehat bijak para leluhur. Mereka tertarik membicarakan nasehat Raden Mas Panji Sosro Kartono. Untuk lebih mendekatkan rasa, sepasang suami istri tersebut menyebut beliau sebagai “Eyang” Sosro Kartono. Sepasang suami istri tersebut menggunakan buku-buku Bapak Anand Krishna sebagai referensi pembicaraan mereka. Sang Istri: Renungan pertama “Eyang” Sosro Kartono tentang ajaran kanthong bolong. “Nulung pepadhane, ora nganggo mikir wayah, wadhuk, kanthong. Yen ana isi lumuntur marang sesami”. “Menolong bagi sesama, tidak perlu
mempertimbangkan waktu, perut, dan saku kita. Jika masih ada isinya biarlah mengalir bagi sesame. Sang Suami: Seorang Bijak adalah milik dunia, bukan milik suatu kelompok atau suatu bangsa. Seorang Bijak bahkan tidak pernah lahir, tidak pernah mati. Lewat pencerahan serta kesadarannya, lewat karya dan pandangannya, ia selalu hidup, tidak pernah mati. “Eyang” Sosro Kartono dengan ajaran “kanthong bolong” tengah menggelorakan semangat untuk mempersembahkan waktu dan sumberdaya yang dimiliki guna berbhakti terhadap sesama selama hidupnya.Apa gunanya hidup sampai usia 70 atau 80 atau 90 tahun, apabila
kehidupan kita tidak berkualitas? Apabila waktu kita hanya tersia-sia hanya untuk kejar-mengejar kekayaan, kedudukan dan ketenaran, ketahuilah bahwa kehidupan akan melewati kita begitu saja. Demikian, sesungguhnya kita tidak pernah hidup. Kita hanya melewati waktu, atau justru waktu melewati kita.Demikian disampaikan dalam buku “Bersama Kahlil Gibran Menyelami ABC Kehidupan”.Hidup dan berkaryalah dalam masa kini dengan penuh kesadaran. Kita tidak dapat berkarya dalam masa lalu yang sudah berlalu, atau pun dalam masa depan yang belum datang. Kita harus berkarya dalam masa kini. This moment is your moment; saat ini adalah saat kita untuk berkarya, untuk hidup dan menghidupi. Gunakanlah saat ini dengan sebaik-baiknya. Demikian disampaikan dalam buku “Life Workbook, Melangkah dalam Pencerahan, Kendala dalam Perjalanan, dan Cara Mengatasinya”.
mempertimbangkan waktu, perut, dan saku kita. Jika masih ada isinya biarlah mengalir bagi sesame. Sang Suami: Seorang Bijak adalah milik dunia, bukan milik suatu kelompok atau suatu bangsa. Seorang Bijak bahkan tidak pernah lahir, tidak pernah mati. Lewat pencerahan serta kesadarannya, lewat karya dan pandangannya, ia selalu hidup, tidak pernah mati. “Eyang” Sosro Kartono dengan ajaran “kanthong bolong” tengah menggelorakan semangat untuk mempersembahkan waktu dan sumberdaya yang dimiliki guna berbhakti terhadap sesama selama hidupnya.Apa gunanya hidup sampai usia 70 atau 80 atau 90 tahun, apabila
kehidupan kita tidak berkualitas? Apabila waktu kita hanya tersia-sia hanya untuk kejar-mengejar kekayaan, kedudukan dan ketenaran, ketahuilah bahwa kehidupan akan melewati kita begitu saja. Demikian, sesungguhnya kita tidak pernah hidup. Kita hanya melewati waktu, atau justru waktu melewati kita.Demikian disampaikan dalam buku “Bersama Kahlil Gibran Menyelami ABC Kehidupan”.Hidup dan berkaryalah dalam masa kini dengan penuh kesadaran. Kita tidak dapat berkarya dalam masa lalu yang sudah berlalu, atau pun dalam masa depan yang belum datang. Kita harus berkarya dalam masa kini. This moment is your moment; saat ini adalah saat kita untuk berkarya, untuk hidup dan menghidupi. Gunakanlah saat ini dengan sebaik-baiknya. Demikian disampaikan dalam buku “Life Workbook, Melangkah dalam Pencerahan, Kendala dalam Perjalanan, dan Cara Mengatasinya”.
Sang Istri: “Eyang” Sosro Kartono melayani dan mengobati orang-orang yang sakit sampai pukul 12 malam setiap harinya. Beliau mengajak kita untuk menjadi Pengabdi Purnawaktu.. dalam buku “Kehidupan, Panduan Untuk Meniti Jalan Ke Dalam Diri” dijelaskan. Pengabdi adalah pekerja purnawaktu. la tidak percaya akan pekerjaan paruhwaktu. Berseragamkan Pengabdian pada hari-hari tertentu atau jam-jam tertentu dan menukarnya dengan pakaian waktu senggang pada hari lain, pada jam lain. Ia bukan seorang pelayan part time yang bekerja pada hari Minggu pagi atau Jumat siang atau Senin sore. Seluruh kehidupannya, sepenuhnya berubah menjadi tindakan pelayanan tak berakhir. Sehingga, la akan siap melayani Sang Kekasih pada setiap saat. Siapkan diri kita untuk pekerjaan purnawaktu dan sambutlah jam kerja panjang dengan senang hati. Tidak ada hari libur. Untuk dapat menikmati pekerjaan ini, kita harus mulai dengan mencintai. Cintailah pekerjaan, tugas yang dipercayakan pada kita. Hanya dalam kerja kita dapat bertemu dengan Kekasih kita. Liburan akan memisahkan kita dari Sang Kekasih. Tidak, kita tidak lagi membutuhkan liburan. kita tidak butuh istirahat. Bagaimana kita dapat hidup tanpa Kekasih kita di samping kita? Kehidupan menjadi tak berarti, tak berasa, tak beraroma. Kita harus melihat wajah Kekasih kita sepanjang waktu. Inilah Pengabdian.. Sang Suami: “Eyang” Sosro Kartono menasehati agar selama memiliki waktu, kekuatan dan harta kita menolong sesama.
Saat menggunakan harta untuk kepentingan sesama, beliau mendapatkan “makna” kehidupan. Bila kita menganggap “kepemilikan harta” sebagai “makna”, kita perlu berhati-hati, karena apa yang kita miliki saat ini tak mungkin kita miliki untuk selamanya. Dalam buku “Fengshui Awareness Rahasia Ilmu Kuno bagi Manusia Modern” disampaikan.Bila kita terlalu percaya pada “kepemilikan”-kita, maka hidup kita bisa menjadi sangat tidak berarti ketika apa yang saat ini masih kita miliki, tidaklagi menjadi milik kita. Berusahalah untuk menemukan makna lain bagi hidup kita. Barangkali “Kebahagiaan”, rasa bahagia yang kita peroleh saat kita berbagi kebahagiaan. Tidak berarti kita tidak boleh mencari uang.Carilah harta sehingga kita dapat berbuat baik, dapat berbagi dengan mereka yang berkekurangan. Berikan makna kepada hidup kita dengan berbagi kebahagiaan, keceriaan, kedamaian, kasih. Sang Istri: Dalam Surat Al Ashri disampaikan tentang pentingnya waktu, agar kita mengisi dengan kebajikan agar tidak merugi. “Eyang” Sosro Kartono juga menasehati kita untuk dapat mengelola waktu, energi dan sumberdaya yang kita miliki.Dalam buku “Menemukan Jati Diri I Ching Bagi Orang Modern” disampaikan. Jangan menghamburkan uang yang telah kita kumpulkan dengan jerih payah. Jangan menyia-nyiakan waktu dan tenaga bersama mereka yang tidak menunjang terjadinya peningkatan kesadaran dalam diri kita. Jika nasihat ini kita indahkan, kita akan selalu jaya! Hidup ini singkat sekali. Dari duapuluh empat jam; setiap hari setidaknya sepertiga atau delapan jam tersita untuk tidur, makan, mandi, dan lain sebagainya. Kemudian, delapan sampai sepuluh jam untuk urusan-perut. Sisa enam sampai delapan jam harus kita bagi antara keluarga, sahabat, nonton teve, mengikuti perkembangan dunia dan banyak hal yang lain.
Mendengar seseorang berkata, “Lagi ngabisin waktu aja, nih.” saya suka bingung. Sebenarnya, siapa yang sedang menghabisi siapa? Kita sedang menghabisi waktu atau justru waktu yang sedang menghabisi kita? Karena itu, jangan menyia-nyiakan waktu. Jangan berkumpul dengan mereka yang tidak menunjang terjadinya peningkatan kesadaran dalam diri kita. Jangan pula “mengumpulkan” pengalaman-pengalaman hidup yang tak berguna. Gunakan waktu seefisien mungkin. Berkumpullah dengan mereka yang sama-sama menyadari “nilai” waktu. Demikian, kita akan selalu jaya, selalu berhasil! Sang Suami: Kita yang hidup di kota- kota besar sering mengambil sikap tidak acuh terhadap permasalahan orang lain. Kita berbicara tentang kasih padahal kebalikan kasih bukanlah kebencian tetapi ketidakpedulian. “Eyang” Sosro Kartono selalu peduli dan mencari kesempatan untuk mengabdi. Dalam buku “Kehidupan, Panduan Untuk Meniti Jalan Ke Dalam Diri” disampaikan. Ibadah, Pemujaan, Sembahyang adalah sarana untuk menciptakan Pengabdian dalam diri kita. Tidak lebih dari itu. Disiplin-disiplin seperti itu dibutuhkan untuk melahirkan Pengabdian dalam diri kita. Begitu lahir Rasa- Pengabdian dalam diri kita, kita akan mulai melihat kekasih kita di mana-mana. Dia ada di Selatan dan di Timur, di Utara dan di Barat, Dia di mana-mana. Dengan kesadaran seperti itu, apa pun yang kita lakukan akan menjadi pemujaan. Kita tidak akan lagi melakukan sesuatu untuk keuntungan pribadi, apa pun yang kita lakukan, kita lakukan demi cinta kasih. Sang Istri: Benar suamiku, beliau sesuai dengan yang disampaikan dalam buku “Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan” la berkarya bukan bagi dirinya sendiri, bukan bagi keluarganya saja, tetapi bagi seluruh umat manusia. Ia berkarya bagi sesama makhluk. la berkarya bagi Semesta. la tidak memikirkan hasil.
Seluruh kesadaran dipusatkannya pada apa yang dikerjakannya. Sehingga hasilnya pun sudah pasti baik. Tidak bisa tidak. Maka, tidak perlu dipikirkan. la berkarya dengan semangat persembahan dan pengabdian pada Hyang Maha Kuasa Bagi seorang Karma Yogi, Maanava Sevaa atau Pelayanan terhadap Sesama Manusia, bahkan Sesama Makhluk, adalah Maadhava Sevaa atau Pengabdian terhadap Hyang Maha Kuasa. Dia tidak beramal-saleh atau ber-dana-punia demi pahala atau kenikmatan surgawi. Dia melakukan hal itu karena “senang” melakukannya. Sang Suami: Dalam buku “Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan”juga disampaikan. Dharma tidak bisa berdiri sendiri tanpa Jagat Hita – Kebaikan bagi Seluruh Jagad Raya. Para teroris boleh mengaku beragama, pembela mereka pun demikian.
Tetapi, mereka bukanlah pelaku Dharma. Mereka tidak memikirkan kebaikan Jagad Raya. Jangankan Jagad Raya, bahkan kebaikan sesama saudara sebangsa dan setanahair pun tak terpikir oleh mereka. Atas nama agama, mereka merusak nama negara dan mencelakai sesama anak bangsa. Dharma adalah Keagamaan, Religiositas atau Religiousness. Inti dan tujuan kita beragama itulah Dharma. Dan, Keagamaan menuntut supaya kita memikirkan kebaikan seluruh umat manusia. Bahkan, kebaikan sesama makhluk hidup – kebaikan bagi semua. Sang Istri: Seseorang yang sudah “sadar” tidak perlu dipaksa, tidak perlu diiming- imingi juga tidak perlu diintimidasi, diteror atau dipaksa untuk berbuat baik. Ia akan selalu berusaha berbuat baik karena sadar! Para Korawa kontemporer yang belum “sadar” berjuang demi keluarga dan kelompoknya dalam medan perang “Kurukshetra”. Kuru adalah istilah dari keluarga, golongan Korawa. Sedangkan Pandawa kontemporer yang “sadar” berjuang dalam medan perang “Dharmakshetra”, berjuang demi dharma.Kita tidak memahami perbedaan antara “kuru” dan “dharma”, antara “kebaikan atau kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan”, dan “kebaikan atau kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, kebaikan umat manusia”, maka kita balik lagi ke Kurukshetra. Demikian disampaikan dalam buku “The Gita Of Management, Panduan Bagi Eksekutif Muda Berwawasan Modern”. (Sar) ....Edisi Ke 2 bulan Desember 2011 - Tabloid Bhineka
Tetapi, mereka bukanlah pelaku Dharma. Mereka tidak memikirkan kebaikan Jagad Raya. Jangankan Jagad Raya, bahkan kebaikan sesama saudara sebangsa dan setanahair pun tak terpikir oleh mereka. Atas nama agama, mereka merusak nama negara dan mencelakai sesama anak bangsa. Dharma adalah Keagamaan, Religiositas atau Religiousness. Inti dan tujuan kita beragama itulah Dharma. Dan, Keagamaan menuntut supaya kita memikirkan kebaikan seluruh umat manusia. Bahkan, kebaikan sesama makhluk hidup – kebaikan bagi semua. Sang Istri: Seseorang yang sudah “sadar” tidak perlu dipaksa, tidak perlu diiming- imingi juga tidak perlu diintimidasi, diteror atau dipaksa untuk berbuat baik. Ia akan selalu berusaha berbuat baik karena sadar! Para Korawa kontemporer yang belum “sadar” berjuang demi keluarga dan kelompoknya dalam medan perang “Kurukshetra”. Kuru adalah istilah dari keluarga, golongan Korawa. Sedangkan Pandawa kontemporer yang “sadar” berjuang dalam medan perang “Dharmakshetra”, berjuang demi dharma.Kita tidak memahami perbedaan antara “kuru” dan “dharma”, antara “kebaikan atau kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan”, dan “kebaikan atau kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, kebaikan umat manusia”, maka kita balik lagi ke Kurukshetra. Demikian disampaikan dalam buku “The Gita Of Management, Panduan Bagi Eksekutif Muda Berwawasan Modern”. (Sar) ....Edisi Ke 2 bulan Desember 2011 - Tabloid Bhineka