Kehadiran orang-orang Belanda di Nusantara, termasuk di Banten pada awalnya hanya untuk berdagang, yakni menawar¬kan beras untuk ditukarkan dengan komo-ditas rempah-rempah yang laku di pasaran Eropa. Namun, dalam perdagangan itu, Be¬landa hendak memonopoli. Di Banten pun terdapat sebuah kantor dagang Belanda. Perkembangan kerajaan Banten tidak lepas dari dukungan kerajaan-kerajaan di pantai utara Laut Jawa, seperti Demak dan Jepara.
Bahkan sejarah Banten dapat ditelusuri lewat kehadiran Falatehan yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Hubun¬gan antara Banten dan VOC yang semula baik berubah seiring dengan naiknya Sultan Banten Abu’l Fath Abdulfattah yang lebih dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa menjadi raja Banten pada tahun 1651. Sul¬tan yang duduk di tahta saat berusia 20 tahun ini tidak menyukai Belanda karena Belanda dalam pandangannya hanya merupakan penghalang perdagangan Banten. Sultan Ageng berusaha menghalang-halangi perda¬gangan Belanda.
Selain itu, orang-orang Banten juga di¬perintahkannya untuk melancarkan seran¬gan-serangan gerilya terhadap kedudukan Belanda di Jakarta, baik melalui darat mau¬pun laut. Dua kapal kompeni pada tahun 1656 dirampas oleh Banten dan perkebunan tebu milik kongsi dagang itu dirusak. Raja pun tidak bersedia menemui utusan VOC sehingga orang-orang Belanda yang berada di Banten merasa tidak aman. Mereka secara diam-diam meninggalkan kerajaan itu. Ke¬tika sudah tidak ada lagi orang Belanda di Banten, VOC memblokir pelabuhan Banten sehingga merugikan perdagangan kerajaan Banten.
Sultan terpaksa mendekati Belanda un¬tuk mengadakan perundingan. Perundingan itu berlangsung sangat ketat karena Belanda tetap mempertahankan keinginan perda-gangan monopoli di Maluku dan Malaka yang sulit diterima oleh Banten. Akhirnya, disepakati bahwa Belanda tetap mengada¬kan perdagangan dengan Maluku dan mem¬bayar ganti rugi kepada Banten. Di sisi lain, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menjalin hubungan dagang dan kerja sama dengan pedagang-pedagang Eropa bukan Belanda. Pedagang-pedagang Inggris dan Denmark misalnya, bebas membeli lada di seluruh wilayah kerajaan Banten.
Francois Caron, seorang utusan raja Prancis Louis XIV yang singgah di Banten menceritakan bahwa setelah mendarat, mu¬la-mula ia diterima oleh Shabandar Kaytsu, seorang Cina muslim. Selepas tengah hari, mereka diterima oleh Sultan Ageng. Pada 16 Juli 1671, raja didampingi oleh beberapa pembesar kerajaan dan dikawal oleh seki¬tar lima puluh hulubalang mendatangi ke¬diaman orang-orang Perancis di kawasan Pecinan. Di sana Caron menyambut rom¬bongan raja bersama sekitar seratus kelasi. Caron meminta izin untuk mendirikan loji di Banten. Raja kemudian menanyakan tu¬juan kongsi dagang mereka, ke mana tujuan kapal-kapal mereka, barang dagangan yang diinginkan, dan jumlah uang tunai yang mereka miliki.
Sesudah itu pihak Perancis berusaha menjual barang muatan mereka. Gandum dibeli oleh para vrijburger atau “Prancis borjuis” di Batavia (pedagang yang tidak terikat dengan VOC). Barang-barang dagan¬gan apa saja dapat dijual, kecuali candu yang dilarang keras beredar di Banten. Caron kembali mengunjungi raja dan menghaturkan berbagai hadiah, getah damar, dua meja besar yang dibawa dari Surat, India; dua belas pucuk senapan, dan hadiah lain.
Orang-orang Inggris yang dikenal sebagai pengamat menam¬bahkan bahwa pihak Prancis juga membawa hadiah beberapa senjata seperti dua jenis mortir dan beberapa granat. Caron dan Gubernur Banten menyetujui perjanjian yang berisi sepuluh kesepakatan mengenai pemberian kemudahan dan hak-hak khusus kepada pihak Prancis, sama den¬gan yang diberikan kepada pihak Inggris. Raja menyewakan lima rumah kecil untuk mereka di kawasan pecinan. Hubungan baik antara Prancis dan Sultan itu bagaimana pun mulai mencemaskan pihak Belanda yang kuatir kalau aliansi antara Prancis dan Sul¬tan itu akan ditujukan ke Batavia.
Di samping itu, persengketaan Belanda dengan Banten juga tidak dapat dilepaskan dari berdirinya kota Batavia yang dirintis oleh Jan Pieterszoon Coen, yang semula ber-pangkat Kepala Tata Buku kongsi dagang itu di Banten, kemudian di Batavia. Berkat taktik VOC, pada tahun 1676, Banten mulai goyah. Dengan politik adu domba, Sultan Haji, putra Sultan Ageng, berhasil dipengaruhi sehingga memusuhi ayahnya. Ia memang dikenal seb¬agai sosok yang sangat pro-Belanda. Akibat¬nya, terjadi perselisihan antara anak dan ayah. Masyarakat pun terbagi dua. Sebagian tetap setia kepada Sultan Ageng, sedangkan yang lain memihak Sultan Haji.
Masjid Agung Banten |
Ketegangan dengan Belanda memuncak pada tahun 1680 dengan berakhirnya perang Trunojoyo. Sultan Ageng yang makin bert¬ambah usianya harus menghadapi Belanda dan puteranya, Sultan Haji. Pada tanggal 27 Februari 1682 pecah perang antara Sultan Ageng dengan Belanda dan Sultan Haji. Pa¬sukan Sultan Ageng berhasil merebut istana Sultan Haji di Surosowan. Belanda melipat¬gandakan kekuatan. Dengan bantuan Be¬landa, Sultan Haji berhasil mempertahankan diri dengan mengikuti semua syarat yang diajukan Belanda yaitu bahwa semua orang Eropa harus meninggalkan Banten.
Pada bulan Agustus 1682, Sultan Haji menandatangani perjanjian yang mengakui kekuasaan Belanda. Lama kelamaan Sultan Ageng terdesak dan kekuatannya mulai le¬mah, tetapi ia tidak mau menyerah kepada Belanda. Pengikut-pengikutnya yang ma¬sih setia melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman. Pada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Jakarta. Ia meninggal dunia dalam penjara. Ia dimak¬amkan di kompleks pemakaman raja-raja Banten di sebelah utara Masjid Agung Bant¬en. Atas jasa-jasanya pada negara, Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar pahlawan Na¬sional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970, tgl 1 Agustus 1970.
Bambang S./Asril B. By Admin : Iwan Setia L Niman