By Admin : Iwan Setia L Niman
GATOT Mangkoepradja lahir pada hari natal tahun 1898 di Sumedang, berasal dari keturunan yang cukup terpandang di kota Sumedang. Ayahnya, Saleh Mangkoepraja, adalah dokter pribumi pertama di Sumedang. Gatot, yang kemudian bersekolah di Bandung, sempat menjadi simpatisan Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging, kemudian berganti menjadi Indonesische Vereeniging tahun 1922) yang berbasis di Belanda namun pemikarannya sampai pula di tanah air dan memperoleh banyak simpatisan.
GATOT Mangkoepradja lahir pada hari natal tahun 1898 di Sumedang, berasal dari keturunan yang cukup terpandang di kota Sumedang. Ayahnya, Saleh Mangkoepraja, adalah dokter pribumi pertama di Sumedang. Gatot, yang kemudian bersekolah di Bandung, sempat menjadi simpatisan Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging, kemudian berganti menjadi Indonesische Vereeniging tahun 1922) yang berbasis di Belanda namun pemikarannya sampai pula di tanah air dan memperoleh banyak simpatisan.
Gatot menjadi salah satu aktivis awal Partai Nasional Indonesia, yang dibentuk oleh Ir.Soekarno pada tanggal 4 Juli 1927 di Bandung. Beliau pun menjadi salah satu aktivis partai yang dipercaya menemani para propagandis utama partai seperti Soekarno maupun Ali Sastroamidjojo. Aktivitas PNI sendiri dengan cepat menjadi sangat masif dengan banyak sekali simpatisan baik di Bandung maupun di berbagai daerah diluar Bandung, terdaftar 6000 anggota di awal tahun 1929. Penggemukan kuantitas anggota dan simpatisan ternyata berbanding lurus dengan haluan politik PNI yang makin revolusioner dan non-kooperatif dengan pemerintah kolonial. Pergerakan PNI dan kelompok-kelompok politik lain yang makin banyak memiliki pengikut dengan sifat yang makin radikal memaksa pemerintahan kolonial dibawah Gubernur Jendral de Graeff melakukan tindakan represif pada kegiatan-kegiatan dan para pegiat politik. Korban pertama adalah Mr. Iwa Koesoemasoemantri yang ditangkap dan dipenjara di Medan, lalu tujuh orang pemimpin Sarekat Kaoem Boeroeh ditangkap di Surabaya. Para aktivis PNI pun sadar, cepat atau lambat gelombang aksi ini akan menimpa mereka, namun mereka memilih untuk tetap beraksi sebagaimana biasa.
Dalam masa itu, Gatot akhirnya memperoleh gelombang hantamannya dalam sejarah pergerakan. Dalam sebuah mobil taksi milik Bpk. Suhada yang dicarter, Gatot dan Soekarno sedang berbincang dalam perjalanan mereka menuju Solo,dan kemudian Jogja, guna menghadiri dan berpidato di rapat umum se¬tempat. Mereka berdua sempat berdiskusi tentang nasib para pemimpin pergerakan dalam kondisi serba ketat seperti waktu itu. Soekarno bercerita pada Gatot tentang para pemimpin yang dibuang ke Boeven Digul dan tempat-tempat mengerikan lain, ataupun dipenjara di penjara lokal, dan bahkan yang dihukum mati. Soekarno bercerita pula tentang salah seorang pemimpin pergerakan di Ciamis yang akan dihukum mati yang pernah menitipkan surat untuknya. Surat tersebut berbunyi :
“Bung Karno, besok saya akan menjalani hukuman gantung. Saya meninggalkan dunia yang fana ini dengan hati gembira, menuju tiang gantungan dengan keyakinan dan kekuatan batin, oleh karena saya tahu bahwa Bung Karno akan melanjutkan peperangan ini yang merupakan peperangan kami. Teruslah berjuang, Bung Karno, putarkan jalannya sejarah untuk semua kami yang sudah mendahului sebelum perjuangan itu selesai.” Gatot dan Suhada yang mendengarkan hal itu terdiam. Sesuatu telah menancap di dada mereka.
Ketika Gatot dan Soekarno sedang berkeliling untuk menghadiri beberapa rapat umum di Solo dan Jogja, tanggal 24 Desember 1929, pemerintah mengeluarkan perintah untuk menggeledah rumah para pemimpin beberapa gerakan politik, terutama para pemimpin PNI. Tanggal 29 perintah itu dijalankan, di Jakarta 50 rumah aktivis digeledah, di Bandung 41 rumah, dan di Jogja 35 rumah. Gatot yang bersama Soekarno sedang bermalam di rumah Suyudi, salah seorang aktivis PNI di Jogja, tentunya tak luput dari penyergapan. Gatot lah yang membukakan pintu ketika para petugas menggedor rumah Suyudi. Di saat para petugas masuk, Gatot sadar, bahwa inilah saatnya, perjuangan telah mendapat ujiannya.
Gatot dan Soekarno segera dimasukkan ke mobil petugas, dan dalam penjagaan konvoi ketat, dibawa menuju penjara Margangasan. Kemudian karena tidak dianggap berbahaya, petugas membebaskan Suhada. Namun Gatot dan Soekarno harus menginap semalam di penjara yang digambarkan Soekarno sebagai ‘penjara untuk orang gila’ tersebut, sebelum besoknya dibawa menuju stasiun, untuk naik kereta menuju Bandung. Tanggal 30 Desember mereka berdua dinaikkan kereta yang menuju Bandung. Kemudian ternya¬ta mereka diturunkan sebelum Bandung, yaitu di Stasiun Cicalengka, dengan tujuan agar di Bandung tidak terjadi kehebohan massal yang bisa menyulitkan penjagaan. Setelah turun dari sedan yang membawa mereka menuju Bandung, Gatot me-nyadari, ia akan menemani pemimpinnya yang tercinta di tempat yang baru : Rumah Penjara Banceuy.
Gatot dimasukkan dalam sel nomor tu¬juh, sementara Soekarno ada di sel nomor lima. Esok paginya dua orang aktivis PNI, Maskoen dan Supriadinata, menyusul menghuni sel nomor sembilan dan sebe¬las Sel itu lebarnya hanya satu setengah meter, dimana sudah termasuk ruang un¬tuk tidur, dan tempat untuk buang hajat. Namun hal itu tidak menghalangi ‘kreati¬vitas’ para pahlawan ini, dengan sedikit negosiasi dengan penjaga, Inggit Garnasih dan kawan-kawan lain berhasil menyelun-dupkan surat kabar dan buku kedalam penjara.
Soekarno, yang mendapat suplai itu pertama, kemudian mempunyai akal un¬tuk menyampaikan buku dan surat kabar itu ke kawan-kawannya, maka dengan menggunakan tarikan benang jahit, ia berhasil mengoper buku dan suratkabar ke sel Gatot, Maskoen dan Supriadinata. Soekarno yang kesepian juga meminta Gatot menceritakan kisah-kisah wayang dari buku-buku selundupan, dan rupanya kisah-kisah heroik dari dunia perwayan¬gan mampu menjadi suntikan semangat bagi mereka.
Tanggal 18 Agustus 1930, setelah delapan bulan di tahanan, Soekarno, Gatot, Maskoen dan Supriadinata diha¬dapkan ke persidangan di Landraad Band¬ung. Mereka dituduh melanggar pasal 169 dari kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan menyalahi pasal 161, 171, dan 153. Mereka secara formal dituduh ‘mengam¬bil bagian dalam suatu organisasi yang mempunyai tujuan menjalankan kejahatan usaha menggulingkan kekuasaan Hin¬dia Belanda’. Dalam sidang itulah, Gatot bersama semua manusia yang hadir saat itu dihadapkan pada sebuah pemebelaan maha dahsyat dari Soekarno, Indonesia Menggugat. Namun Indonesia Menggugat yang tak terbantahkan, tetap dibantah oleh hakim, Gatot mendapat hukuman 2 tahun 8 bulan. Sedangkan Soekarno 4 tahun, dan Maskoen dan Supriadinata masing-masing 1 tahun 3 bulan. Dalam masa penahanan mereka, PNI dibubarkan.
Pasca kemerdekaan, Gatot kembali bergabung dengan PNI yang sudah diko¬mandoi Soekarno kembali. Setahun ke¬mudian ia menjabat Sekretaris Jenderal PNI menggantikan Sabillal Rasjad yang ditarik ke BP KNIP. Ia meninggalkan PNI pada sekitar Pemilihan Umum tahun 1955 karena kecewa dengan keputusan partai bahwa anggota PNI tidak boleh turut serta dalam organisasi kedaerahan. Tahun 1962 ia menjadi anggota Majelis Permusy¬awaratan Rakyat Sementara (MPRS), sampai pada masa pasca meletusnya peris¬tiwa 30 September 1965, Gatot bergabung dengan Partai Ikatan Pendukung Ke¬merdekaan Indonesia (Partai IPKI) yang didirikan oleh Kolonel AH Nasution, Kol¬onel Gatot Subroto, Kolonel Aziz Saleh, dan beberapa tokoh lainnya tahun1954. Namun kiprah politik Gatot di IPKI tidak¬lah lama, tahun 1966 Gatot diberhentikan dari MPRS oleh Soeharto karena dianggap berafiliasi dengan komunisme dan Soekar¬no. Tiga tahun kemudian, tepatnya tanggal 4 Oktober 1968 Raden Gatot Mangkoepr¬adja meninggal dunia di Bandung, dan di¬makamkan di Taman Pemakaman Umum Sirnaraga Bandung.
Damar SR./Bonang D